“Apa salah dan dosa kami, sehingga tidak ada satu pun diantara kalian yang pergi ke tempat Ibadah untuk berdoa?,” sebuah pertanyaan dan kalimat yang sungguh membuat saya terkejut ketika mendengarnya.
Kalimat pertanyaan yang berisi penghakiman ini datang dari cerita salah seorang sahabat dan senior. Mendengarnya membuat begitu banyak respon dalam diri saya. Tulisan ini adalah salah satu cara untuk mengkomunikasikan respon yang timbul dalam diri saya ketika mendengar kisah dan juga kalimat tersebut.
Setidaknya ada beberapa hal yang muncul dalam diri saya, ketika mendengarkan kisah sekaligus kalimat tanya tersebut.
Pertama, orang yang mengeluarkan pernyataan ini adalah orang yang sangat peduli dengan keadaan orang yang diajaknya berbicara. Saya menilainya sebagai, sedikit kelewat peduli.
Kepedulian itu lahir dari keinginan untuk memperhatikan; untuk ikut serta dalam perubahan keadaan (entah apapun itu). Meskipun demikian, kepedulian yang terlalu berlebihan memunculkan racun, yaitu kesombongan dan kuasa palsu untuk mengambil alih hidup orang lain dan mengaturnya sesuai dengan keinginan sendiri. Kepedulian degan kadar yang sesuai, baik. Tetapi, jika terlalu banyak, sakit.
Kedua, Bagaimana cara berpikir orang yang mengatakan kata atau kalimat di atas?. Diikuti dengan, “Mengapa dia dapat berpikir bahwa adalah kesalahannya, orang lain melakukan tindakan yang tergolong sebagai dosa.” Sebuah kesadaran diri yang terlalu berlebihan menurut pendapat saya.
Pernyataan ini pun menunjukkan pemahamannya akan definisi dosa yang tergolong luar biasa. Tidak menampakkan wajah ke dan di rumah ibadah adalah salah satu bentuk dosa. Sebagai tambahan, tindakan tersebut pun digolongkan sebagai sesuatu yang dibenci oleh Tuhan, dan menjadi salah satu pokok ajaran iman sebuah kepercayaan.
Lalu, bagaimana saya menanggapi masalah seperti ini?
Hummm, Iman dan kepercayaan sungguh adalah masalah yang sangat personal. Apalagi iman, dan bagaimana seseoang bertindak serta berperilaku sesuai dengan kepercayaan yang Ia pilih untuk menjadi panduan hidupnya. Kecuali, tindakan dan perilakunya sudah dapat digolongkan ke dalam tindakan yang sangat merugikan lingkungan dan masyarakat luas.
Iman, adalah sungguh hubungan personal dan intim antara seorang individu dengan Tuhannya. Hubungan ini, kedalaman dan juga keluasannya sangat personal sifatnya.
Memang, spektrum dari iman ini dapat nampak dari sikap dan perilaku inidvidu. Entah itu kepada sesamanya dan bahkan kepada lingkungannya. Mungkin dengan alasan inilah mengapa si penanya begitu sangat memperhatikan mengenai aktivitas untuk berkunjung ke rumah ibadah. Rajin datang ke rumah ibadah untuk berdoa atau melakukan aktivitas lainnya adalah tanda bahwa orang yang bersangkutan memiliki kedalaman iman yang cukup, dan sekaligus tanda bahwa ia sudah mempraktikan ajaran agamanya dengan baik.
Meskipun demikian, kita tidak dapat menilai dengan sangat tidak adil hidup keimanan seseorang hanya dari hadir atau tidaknya Ia di rumah ibadah atau, aktif atau tidaknya Ia di rumah ibadah. Sekali lagi, ini adalah ranah atau wilayah personal hidup seseorang. Lebih penting lagi adalah, itu adalah urusan antara Dia dan Tuhannya.
Lagian, “…berikan milik Kaisar kepada Kaisar, dan berikan milik Allah kepada Allah.” (Bdk. Matius 22: 21).
Tugas kita menurut saya adalah, mendorong dia atau mereka untuk menemukan cahaya Ilahi yang sudah kita rasakan dan kita lihat juga. Teladan hidup yang memang mencerminkan hadirnya Tuhan dalam hidup dan karya kita.
Hadirnya kita di tengah-tengah orang lain, yang dapat membuat orang lain merasa nyaman, aman dan tenang; hadirnya kita yang menjadi salah satu simbol harapan dan alasan orang lain untuk terus berjuang. Ini adalah satu dari sekian banyak tanda bahwa hidup kita sudah memancarkan cahaya dan rahmat dari Tuhan yang kita imani.
Pada masa-masa seperti saat ini, ketimbang menghakimi orang lain karena praktik imannya, akan lebih jika kita dapat menjadi teladan dan bukti bahwa Tuhan yang kita imani sudah menyelamatkan dan berkenan hadir dalam hidup kita.
Menghakimi, sungguh hanya akan membuat lebih banyak orang lain menjauh dan kemudian hilang. Tak ada rahmat Tuhan dalam hubungan dan laku seperti ini.
Bagaimana pendapat teman-teman pembaca sekalian?