Mengapa setiap kali menerima gaji, tak ada kata “Syukur” dan “Terima Kasih” ?


Awal bulan tiba, dan gaji pun masuk ke rekening masing-masing pekerja. Tetapi, tak ada ucapan syukur dan terima kasih. Malah yang muncul adalah ekspresi dan celotehan seperti, “Astaga, apakah ini saja yang ku dapatkan bulan ini? “ , “Dipotong apa lagi ini?.”

Kecewa.

Ketika rasa kecewa merajai hati dan pikiran, tak ada lagi ucapan terima kasih, apalagi syukur.

Beberapa waktu ini, saya berpikir tentang pekerjaan, yaitu tentang motivasi bekerja dan juga penghargaan yang timbul sebagai upah dari bekerja.

Ketika memutuskan untuk bergabung dalam misi perusahaan ini, alasan saya adalah, belajar dan pengembangan diri. Lapangan belajar yang luas dan kesempatan untuk belajar lebar terbentang pada perusahaan ini, tetapi semakin ke sini, entah mengapa semangat untuk belajar ini semakin surut.

Cinta pada apa yang saya kerjakan, dan juga perusahaan ini pun semakin hambar. Saya adalah satu dari sekian banyak karyawan yang mengalami de-motivasi terhadap karya dan juga pekerjaan-pekerjaan yang dulu adalah kebanggan dan alasan wajah ini berseri-seri setiap harinya.

Perubahan. Perubahan pada manajemen, pada sistem dan juga pengelola adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Tapi, jika perubahan itu terjadi dalam waktu-waktu yang tidak tepat, dan waktu adaptasi yang tidak cukup, maka stres-lah yang akan dirasakan.

Saya mendambakan adanya perubahan, dan itu adalah perubahan ke arah yang baik. Perubahan seperti ini disebut sebagai pertumbuhan. Tetapi, kenyataan yang saya rasakan tidak demikian. Semakin ke sini, perasaan saya mengatakan bahwa ini adalah perubahan menuju pada kemunduran dan juga perlahan, ke-han-curan.

Parahnya lagi, saya pun tak berdaya, tak kuasa dan tak dapat melakukan apa-apa untuk mencegah terjadinya perubahan seperti ini. Saya pun memilih untuk mengambil aksi untuk tidak melakukan apa-apa. Saya biarkan saja, dan saya lepaskan saja. Tak ingin pusing-pusing memikirkan hal yang bukan menjadi tugas dan tanggung jawab saya.

Penghargaan. Saya bukan Santo Paulus yang dengan luar biasanya mengatakan, “…Upahku adalah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil” (Bdk. 1 Kor 9:18). Apa yang dikatakan oleh Santo Paulus ini, dapat diartikan bahwa apa yang Ia kerjakan dan lakukan, pemberian dirinya kepada karya dan misinya adalah bersifat cuma-cuma.

Saya bukan Santo Paulus, dan saya mungkin tak dapat serupa dengannya dalam hal pekerjaan. Saya orang yang cukup realistis dan sangat duniawi, yang masih membutuhkan makanan untuk bertahan hidup, kuota internet untuk dapat eksis, dan masih banyak lagi.

Upah, insentif atau gaji, adalah salah satu bagian dari penghargaan. Selain gaji, ada pula hal lainnya, seperti kontrak kerja yang rasional, profesional, dan manusiawi; Perlakuan yang adil dan tidak sepihak serta semena-mena; penghargaan atas waktu; dan masih banyak lagi.

Mengenai waktu, saya ingat sebuah diskusi bersama salah satu rekan kerja yang memberikan komentar, “tidak ada penghargaan atas waktu…” Pernyataan ini adalah sebuah ekspresi rasa kecewa, dan juga ketidakpercayaan.

Dalam beberapa waktu ini, saya menyadari akan waktu sebagai komoditi yang luar biasa. Time is money, bukanlah jargon yang biasa-biasa saja.

Tempat bekerja yang mempekerjakan pekerjanya melalui sistem shift, tahu betul kebermanfaatan dan keunggulan dari waktu. Orang-orang dibayar berdasarkan waktu yang Ia gunakan untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Jika perusahaan tempat bekerja tidak mampu melihat bagaimana pekerjanya menggunakan waktunya untuk menyelesaikan setiap pekerjaan yang dibebankan kepadanya, saya tidak tahu lagi bagaimana harus memberikan komentar.

Keengganan untuk memberikan lebih. Cukup sudah pengorbanan diri itu, cukup sudah kepedulian itu!

Ini adalah saat ketika saya menyadari bahwa kadar kepedulian dan cinta akan perusahaan ini semakin hari semakin hambar. Saya melihat keengganan saya untuk mengorbankan waktu dan perhatian, untuk memikirkan tentang kelanjutan dan juga eksistensi perusahaan ini.

Saya juga menilai dan merasa ada perbedaan persepsi antara pemilik dan buruh/pekerja di perusahaan ini. Pemilik merasa bahwa mereka telah memberikan lebih banyak dari yang seharusnya mereka berikan, dan buruh yang merasa sudah memberikan seluruh yang mereka miliki tetapi malah mendapatkan balasan yang tidak setimpal. Keadaan ini, menjadi masalah yang tak ada akhirnya. Seperti lingkaran setan, yang terus menerus melahirkan penderitaan dan kesengsaraan.

Keengganan untuk memberikan lebih dari yang seharusnya pun lahir dari rasa kecewa. Kecewa lahir dari harapan yang dihempas. Dibohongi.

Bak cinta bertepuk sebelah tangan jadinya.

Kengganan ini pun melahirkan keadaan yang menyedihkan, yaitu pembiaran. Ketidakpedulian. Nilai-nilai yang diimplementasikan semakin jauh dari nilai-nilai luhur yang ditanamkan oleh para pendiri awal perusahaan ini.

Keengganan dan ketidakpedulian adalah paket komplit yang menyeramkan. Ini pula yang menjadi alasan mengapa tidak ada “syukur” dan tak ada “terima kasih”, ketika pemberitahuan tentang gaji yang masuk tiba.

Kaku dan terlalu konservatif. Tulisan menarik datang dari Amy M. Young, dalam tulisannya yang berjudul “How to Improve Workplace Wellbeing: The Improtance of lightheartedness and underscoring employee contributions.” Catatan yang menarik dari tulisan ini adalah kontribusi dari leader dan pemilikuntuk meningkatkan kemampuan karyawan dalam bertahan dan tetap produktif dalam masa-masa yang sulit.

Beberapa catatan tersebut terkonsentrasi pada satu hal, yaitu komunikasi yang mendamaikan. Dimulai dari pertama, mengkomunikasikan arti penting setiap unit dalam perusahaan dan kontribusinya untuk mempertahankan keadaan atau tempat kerjanya. Kedua, memberikan kebebasan kepada karyawan untuk bersenang-senang dan menikmati apa yang dikerjakannya. Tidak kaku atau konservatif. Ketiga adalah selebrasi untuk setiap pencapaian-pencapaian yang diperoleh.  

Ketiga hal ini, adalah hal yang tidak nampak di perusahaan ini. Pernah suatu kali terlontar pernyataan yang kira-kira seperti ini, “..kalau perusahaan ini tutup, kalian yang tidak dapat hidup dan bertahan.” Banyak yang sakit hati karena ini. Bukan hanya karena sebagian dari pernyataan ini benar adanya, tapi juga karena rasa kasihan, bagaimana mungkin kata-kata ini sampai terucap dan dikeluarkan dari seorang pemilik perusahaan kepada karyawannya. Bukankah perusahaan dan pemilik menjalin hubungan saling ketergantungan untuk menjadikan perusahaan ini hidup dan terus berjalan?

Selanjutnya, soal kekakuan dalam berekpresi. Tidak boleh ini dan tidak boleh itu. Sungguh, ini mematikan semangat dan juga kreatifitas dari karyawan. Tidak heran kalau dalam hal mengatasi masalah, daya kreatif pun kurang dan bahkan tidak ada. Solusi masalah hanya mencapai tahap menghentikan masalah sementara, untuk diselesaikan pada waktu lainnya saja.

Terakhir, apakah mungkin karena keadaan ekonomi yang memang diramalkan sebagai “resesi,” maka keadaan saat ini pun sedang dalam keadaan yang depresi juga. Meskipun ada selebrasi, tetapi tetap saja tidak ada keramaian. Semuanya tertawa dalam diam, dan menertakan keadaan yang “ngenes” pun dalam diam.  

Burnout. Dalam bahasa Indonesia, burnout dikenal sebagai kelelahan kerja atau keletihan mental. Konsep ini, kalau ditelusuri lebih jauh, pertama kali diperkenalkan oleh Christina Maslach, dan terus dikembangkan sampai saat ini.

Kelelahan dan keletihan dalam bekerja, sampai demotivasi dalam bekerja diasosiasikan dengan sangat kuat dengan kejadian burnout.

Lelah karena pekerjaan yang sudah tidak dapat diselesaikan dengan hanya sekedar istirahat, burnout. Tidak antusias menerima gaji setiap awal bulan, burnout. Tidak puas dengan gaji yang diterima tiap awal bulan, burnout. Sudah seperti itu saja.

Setidaknya, ada beberapa hal penting yang harus dimiliki atau ditunjukkan oleh mereka yang mengalami burnout, yaitu overwhelming exhaustion (Kelelahan yang luar biasa), feelings of cynicism and detachment from the job (Bersikap sinis terhadap pekerjaan atau kerja, dan merasa tidak ikut bertanggung jawab terhadap pekerjaan), and a sense of ineffectiveness and lack of accomolishment (merasa tidak dapat bekerja dengan efektif dan pencapaian yang sangat-sangat kurang).

Demikian, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa tidak ada terima kasih dan bahkan ucapan syukur ketika payday tiba.

Apakah ada yang memiliki pengalaman yang serupa?

*Terima kasih kepada para narasumber yang tidak berkenan untuk disebutkan namanya, yang menjadi inspirasi dari tulisan receh ini. Tulisan ini pun tidak dimaksudkan untuk menyinggung orang/subjek atau perusahaan manapun.

Iklan

2 pemikiran pada “Mengapa setiap kali menerima gaji, tak ada kata “Syukur” dan “Terima Kasih” ?

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s