Munafik atau Munāfiq, adalah bukan kata yang asli berasal dari Bahasa Melayu atau bahasa Indonesia, tetapi adalah sebuah kata serapan yang berasal dari kebudayaan timur tengah, yang sangat erat kaitannya dengan ajaran keagamaan.
Secara gamblang, munafik dapat diartikan sebagai “…berpura-pura mengikuti ajaran agama.., tetapi sebenarnya hati mereka memungkirinya.”
Beberapa sumber pun banyak menuliskan padanan kata untuk munafik sebagai, bermuka dua; lain di muka, lain di belakang; dan masih banyak lagi.
Kata, munafik, mengingatkan saya akan begitu banyak hal. Sambil bercermin diri, saya pun melihat begitu banyak laku yang saya lakukan dan kerjakan atas nama kemunafikan. Manis di muka, dan pahit di belakang. Menggunakan topeng berlapis-lapis.
Munafik, adalah sebuah kata yang tidak hanya menunjukkan tentang atau berhubungan dengan manusia dan Tuhannya, tetapi juga berlaku pada manusia dan sesamanya manusia.
Pernahkah kamu berada dalam keadaan yang membuatmu harus mendemonstrasikan sikap “munafik” ? Pernahkah kamu menjadi munafik?
Mengapa munafik?
Munafik atau biasa disingkat sebagai “muna” dalam bahasa pergaulan sehari-hari adalah sikap atau tindakan yang sama sekali tidak dapat terhindarkan. Oleh siapapun.
Menjadi munafik itu seperti sebuah respon pertahanan diri terhadap tekanan-tekanan yang datang kepada individu atau seseorang. Menjadi munafik juga adalah sebuah respon untuk mempertahankan dan menyelamatkan diri, seumpama diri sedang dalam keadaan yang mengancam, yang mungkin dapat melukai dan memusnahkan.
Menjadi munafik pun adalah sebuah pilihan. Ketika diperhadapkan oleh situasi atau keadaan yang menjepit, apakah kita akan tetap mempertahankan diri kita yang sesungguhnya, atau berubah menjadi pribadi yang mempraktikkan kemunafikan.
Dalam beberapa bacaan kitab suci, saya menemukan begitu banyak kata munafik, dan contoh-contoh perilaku munafik yang sungguh diceritakan sebagai peristiwa yang dikutuk dan dibenci oleh Tuhan sendiri.
Munafik, dihubungkan dengan pemberian sedekah yang tidak dilakukan dengan tulus dan rela hati (Matius 40:2), berdoa yang dilakukan dengan motif yang tidak terpuji (Matius 40:5), berpuasa hanya karena ingin mendapatkan perhatian (Matius 40:16), perilaku menyesatkan orang lain (Matius 40:13-15) dan masih banyak lagi.
Namun, inti dari pembicaraan mengenai kemunafikan berakar pada perilaku mendua yang bertolak belakang dari yang sebenar-benarnya. Ada kebohongan yang hadir dalam kemunafikan, dan ada pula upaya untuk mencari keuntungan dan menyelamatkan diri sendiri.
Untuk mendeskripsikan mengenai kemunafikan, secara personal, saya sangat menyukai kata-kata indah ini yaitu,
“…cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan..” (Matius 40:25).
“…seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran…”(Matius 40:27).
“…Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya,padahal hatinya jauh dari pada-Ku.”(Markus 41:6).
Munafik dengan segala variasinya. Menarik!
Bagaimana agar tidak menjadi munafik?
Hemat saya, cara yang paling ampun untuk mengurangi kadar kemunafikan dalam diri adalah dengan cara ini,
“…keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu..”
(Lukas 42:42).
Dalam bahasa sederhana, kesadaran diri dan perubahan. Dalam bahasa yang lebih religius lagi adalah, pertobatan.
Yeap! Kesadaran bahwa saya berpikir dan bahkan bertindak munafik. Menyadari bahwa saya adalah orang yang sudah melakukan tindakan-tindakan munafik, dengan sadar dan bahkan tidak sadar.
Lalu, setelah sadar dengan tindakan kemunafikan ini, lahirlah kesadaran akan sesal, yang semoga diikuti dengan keinginan yang dalam untuk memperbaiki diri.
Kesadaran tanpa perbaikan diri. Percuma.
Saya rasa, tidak ada yang akan luput dari sikap dan tindakan kemunafikan. Tapi, seburuk-buruknya kita sebagai manusia, kita harus bersyukur karena diberikan kesempatan untuk menyadari hal seperti ini dan melakukan perubahan.
Perubahan yang dilakukan sedikit demi sedikit, satu persatu, hari demi hari.
…
Semoga kesadaran akan kemunafikan menghampiri kita pada saat ini, lalu bersamaan dengannya hadir pula sikap sesal dan keinginan untuk berubah dan mengubah diri. Jika tiba saat itu, semoga kita pun dapat mensyukuri kesempatan dan menggunakan sebaik-baiknya untuk pertumbuhan pribadi kita sebagai manusia penghuni planet bumi ini. Good luck!
Bagaimana pendapatmu tentang tulisan ini?