St. Ignasius dan Diskresi tentang “Dambaan”


Pada St. Ignasius (Inigo) masih kecil, dia berangan-angan bahwa suatu hari nanti ia akan menjadi seorang laskar yang hebat dan menikah dengan seorang puteri yang cantik.

Lalu, Ia sungguh mendapatkan apa yang menjadi angan-angannya, dambaannya. Ia sungguh mendapat penghargaan karena kegagahannya dalam pertempuran di Pamplona.

Tetapi, luka karena peluru meriam ditubuhnya membuat Ignatius terbaring tak berdaya selama berbulan-bulan di atas pembaringannya di Benteng Loyola.

Apa yang awalnya menjadi dambaan Inigo, berubah karena kejadian yang tidak diduga-duga. Tuhan menggerakkan Inigo untuk melihat kembali “dambaan” yang Ia miliki ketika masih kecil; melihat relevansinya;menimbang kembali dan melihat kembali dengan jeli. Tuhan pun tidak tinggal diam, Tuhan menggerakkan apapun yang ada disekitar Inigo, untuk membantunya berproses.  

Bukan sebuah kebetulan ketika Inigo terluka dan tidak berdaya. Bukan kebetulan pula ketika rasa bosan hadir dalam dirinya, dan kemudian, Ia mengisi waktunya dengan membaca. Bukan sebuah kebetulan ketika buku-buku bacaan yang hanya ada pada saat itu adalah buku-buku tentang kisah hidup Yesus dan para kudus.

Melalui kejadian yang mengerikan, yang dialami oleh Inigo, Tuhan menggerakkannya untuk melihat kembali apa yang menjadi “dambaan” sejati dalam hidupnya? Me-reset kembali hidupnya.

Sampai kemudian,

Semua kemuliaan dan kehormatan yang sebelumnya sangat ia dambakan, tampak tak berarti lagi baginya sekarang. Ia tahu betul apa yang benar-benar menjadi dambaannya. Ia mulai meneladani para kudus dalam doa, melakukan silih dan perbuatan-perbuatan baik.

Dalam katakese Paus Fransiskus mengenai “dambaan”, garam diumpamakan sebagai “dambaan” yang akan menambah semakin lengkapnya proses diskresi.

Dambaan, dalam definisi Paus Fransiskus adalah, “suatu bentuk pencarian. Pencarian ini selalu bertolak dari apa yang tidak dimiliki, meskipun demikian entah bagaimana secara intuitif kita mengetahui apa saja “yang kurang ini”

Kita lihat bagaimana perjalanan untuk membentuk dambaan dalam diri Inigo. Ketika Ia masih kecil, dambaan untuk menjadi seorang laskar yang hebat dan menikah dengan seorang puteri yang cantik, lahir dari keadaan “tidak ada”, yang ingin diwujudkan untuk masa yang akan datang. Inigo pada saat itu masih kecil, tidak berdaya, jauh dari kata hebat, apalagi memiliki seorang seperti “puteri cantik.” Dambaan itu, lahir dari sesuatu yang kurang, ketidakadaan.

Demikian juga dengan “dambaan” ketika Inigo sudah mulai dewasa; sudah mencapai apa yang Ia inginkan, tetapi kemudian diperhadapkan dengan keadaan yang berbeda total. Ada perubahan drastis dalam hidupnya, yang membuat muncul pula kekosongan atau ketiadaan yang lain, yang lebih dalam, yang membuat ketiadaaan untuk dambaan sebelumnya, tak ada artinya lagi.

Pada saat itulah, Ia belajar untuk memformulasikan kembali, “dambaan” yang baru. Dari ketidakberdayaannya, kekosongannya, lahir dambaan yang baru. Yang lebih solid.

Lebih lanjut, Bapa Suci mengatakan bahwa, “Dambaan adalah seumpama kompas, yang bekerja untuk memahami di mana aku berada, dan ke mana aku akan menuju. Dambaan membantu untuk memahami apakah aku diam atau bergerak ke arah tertentu

Dambaan yang dimiliki oleh Inigo, membawanya untuk bergerak mewujudkannya. Mulai dari keinginannya untuk menjadi seorang laskar yang hebat, lalu memiliki seorang pendamping yang cantik, dan lain sebagainya. Ia menggunakan dambaannya pada saat itu sebagai kompas untuk memahami di mana Ia berada, dan ke mana ia akan menuju.

Namun, dambaan itu berubah ketika petaka melanda, atau yang dikenal sebagai cannon ball moment.

Inigo kembali menyusun dambaan-nya yang baru; yang benar-benar membuat dia memahami di mana Ia berada (situasinya saat ini), dan ke mana Ia akan menuju. Ia pun membentuk tantangan untuk hidupnya sendiri. Pernyataan, “Mereka adalah orang-orang yang sama seperti aku, jadi mengapa aku tidak bisa melakukan seperti apa yang telah mereka lakukan?”, yang lahir setelah Inigo selesai membaca buku-buku rohani itu, menjadi tanda bahwa dambaan itu sudah terbentuk dan mulai berubah menjadi semakin solid. Inigo tahu betul apa yang benar-benar menjadi dambaan.

Paus Fransiskus mengatakan tentang ciri-ciri dambaan, yaitu bahwa, “Dambaan bertahan dalam waktu yang lama. Dambaan tidak padam saat kita menghadapi kesulitan atau kemunduran; keinginan untuk menemukan dambaan dapat membuat kita akan terus akan mencari, dan setelah menemukannya, kita rela berkorban untuk memperolehnya. Dambaan yang jelas juga membuat kita kuat, berani, dan membuat kita terus maju untuk mencapai tujuan. Dambaan pun dapat membuat hidup kita semakin bergairah”

Lihat bagaimana dambaan yang dimiliki oleh Inigo. Dambaan pertama yang dimilikinya ketika masih kecil, tidak bertahan ketika penderitaan dan kesulitan melanda. Tetapi, dambaan selanjutnya, yang lahir karena kejadian tidak menguntungkan itu, membuat Inigo bertahan dalam waktu lama, membuatnya bertahan dari segala penderitaan dan siksa, membuatnya semakin kuat, berani dan bergairah untuk mewujudkannya dan membuat Inigo sanggup berkorban untuk memperolehnya.

Inilah yang dimaksud sebagai “dambaan yang sejati ”, yang merupakan tanda kehadiran Tuhan dalam diri manusia.

Dambaan begitu sangat penting, sampai Yesus pun sebelum melakukan mujizat kepada mereka yang membutuhkan-orang yang sakit, terluka dan membutuhkan bantuan; terlebih dahulu melakukan asessment dan memvalidasi, apa yang benar-benar menjadi dambaan mereka.

Melihat kisah penyembuhan di kolom Bethesda, dalam dialognya bersama seorang yang sudah tiga puluh delapan tahun merasakan sakit, Yesus bertanya, “Maukah engkau sembuh?” (Bdk. Yohanes 5:6).

Yesus bertanya seperti ini, dengan alasan yang sangat jelas, yang tertuang dalam ayat ini,

Ketika Yesus melihat orang itu berbaring di situ dan karena Ia tahu, bahwa ia telah lama dalam keadaan itu, berkatalah Ia kepadanya: “Maukah engkau sembuh?” (Yohanes 5:6).

Dambaan itu sungguh sangat penting, agar mujizat itu dapat terjadi. Tetapi, Yesus melihat bahwa nampaknya orang lumpuh ini tidak benar-benar yakin dengan keinginannya. Pertanyaan yang Yesus ajukan dimaksudkan untuk menajamkan lagi “dambaan” si orang sakit ini.

Bayangkan saja, selama 38 tahun mengalami sakit, dan selama 38 tahun ini sudah berada dekat dengan sumber penyembuhan, tetapi masih saja belum bergerak untuk mencapai kesembuhan itu.

Wajar jika Tuhan kembali harus bertanya dan meyakinkan si sakit, “Maukah engkau sembuh?”

Jawaban orang sakit kepada Yesus, dapat menggambarkan keragu-raguan, ketidakyakinan terhadap apa yang menjadi dambaannya. Si sakit belum mampu benar-benar memutuskan apa yang ia inginkan.

“Jawab orang sakit itu kepada-Nya: “Tuhan, tidak ada orang yang menurunkan aku ke dalam kolam itu apabila airnya mulai goncang, dan sementara aku menuju ke kolam itu, orang lain sudah turun mendahului aku.” (Bdk. Yohanes 5:7).

Alasan! Ya, terlalu banyak alasan untuk berkilah dari pertanyaan yang sesungguhnya, yaitu “Maukan engkau sembuh?.” Hasilnya, penderitaan.

Paus Fransiskus menyebutkan bahwa, ketiadaan dambaan banyak menyebabkan orang hidup dalam penderitaan. Tidak heran jika banyak di antara orang-orang ini akan menyia-nyiakan kesempatan dan hidup mereka. Tidak ada keinginan untuk mengejar atau mewujudkan sesuatu.

Hal ini benar adanya, melihat apa yang terjadi pada Inigo dan pada kisah orang sakit di kolom Bethesda.  Inigo, yang meskipun sudah memiliki apa yang ia inginkan, masih saja belum puas dan merasakan kepenuhan. Sedangkan orang sakit di kolam, yang karena tidak dapat memformulasikan apa yang Ia inginkan, harus menahan derita yang cukup lama.

Sekarang, mari kita lihat ke dalam diri kita, dan melontarkan pertanyaan ini,

“Apa yang menjadi dambaanmu?”

atau, sama seperti Yesus, ketika Ia mengajukan pertanyaan kepada si buta,

“Apa yang kau kehendaki supaya Aku perbuat bagimu?” (bdk, Markus 10: 51).

Apa dan bagaimana jawaban kita?

Jika, pada saat ini masih belum ada bentuk dan rupa dambaan itu, atau  masih belum jelas apa yang benar-benar diinginkan atau didambakan, atau mungkin dambaan itu sudah ada tapi masih belum solid terbentuk. Maka, ijinkan Tuhan masuk dan membantu kita melakukan asessment dan validasi atas dambaan kita, sama seperti ketika Yesus datang menyapa orang sakit lumpuh di dekat kolam Bethesda. Minta agar Tuhan memberikan kita arah dan petunjuk, dan memberikan jawaban yang benar-benar tepat untuk pertanyaan dariNya, “Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?.”

Berdoalah, “Beri kami dambaan, yang semakin dekat dengan dambaan sejati dan buatlah itu tumbuh, Tuhan.”  Amin.

Tulisan ini sengaja disusun sebagai bagian dari bahan permenungan untuk kegiatan Caminar con Inigo (CCI) yang diselenggarakan pada hari Jumat, 26 Mei 2023 untuk topik “Diskresi Dambaan dan Kisah Kehidupan”.

Catatan mengenai Inigo dapat dibaca pada link-link berikut:

  1. https://www.mirifica.net/st-ignatius-dari-loyola-31-juli/
  2. https://jesuits.id/santo-ignatius-loyola-2/

Satu pemikiran pada “St. Ignasius dan Diskresi tentang “Dambaan”

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s