Masalah yang terjadi dan berputar di kepala kita ini, sangat banyak. Hal terakhir yang mungkin terpikirkan adalah masalah cara berpakaian. Pakaian mungkin adalah hal penting, dan menjadi kebutuhan fisiologis. Tapi, cara berpakaian ? ini mungkin adalah golongan kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan terakhir dari hierarki kebutuhan Maslow.
Untuk orang-orang yang masih mengejar kebutuhan fisiologisnya, kebutuhan untuk berpakaian layak di tengah umum bukanlah prioritas. Tentu saja, jika hal ini dilihat dari hierarki kebutuhan Maslow.
Memang, tidak semua orang menerapkan hierarki ini. Ada memang yang memilih untuk tampil “wah” di depan umum, dan dengan berbagai alasan tidak menampilkan upaya dan kerja kerasnya untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya. Mungkin juga, orang ini menilai kebutuhan berpakaian yang layak adalah bagian dari kebutuhan fisiologis.
Melihat fenomena-fenomeni ini, gaya berpakaian seseorang atau sekelompok orang, sungguh sangatlah tergantung dari dirinya sendiri atau dalam Bahasa lain adalah sangatlah subjektif sifatnya.
Gaya atau cara berpakaian bagi kebanyakan orang mengandung banyak arti dan makna. Ada memang yang mengabaikannya atau menganggap tidak penting, dan ada pula yang menganggapnya sebagai bagian atau cara berkomunikasi dengan orang lain. Misalkan, penggunaan warna-warna cerah untuk pakaian dihubungkan dengan suasana hati yang bahagia dan optimis, sedangkan penggunaan warna-warna gelap dihubungkan dengan suasana hati yang misterius, sedih dan bahkan mungkin sedang tidak bersemangat. Tapi sekali lagi, hal seperti ini pun sifatnya sangat subjektif.
Lalu, bagaimana?
Saya rasa, aturan berpakaian adalah hal yang sangat penting kita lihat dalam kasus ini. Melihat subjektivitas yang sangat tinggi perihal berpakaian, maka harus ada aturan atau tata cara untuk berpakaian. Aturan ini tentu saja didasarkan pada suatu kepentingan tertentu. Entah itu untuk tujuan keseragaman, tujuan untuk nyaman dipandang atau tujuan lainnya. Aturan ini pun harus jelas, tertulis dan disetujui oleh orang-orang yang terikat pada aturan ini. Lalu, ada sanksi. Bagi mereka yang tidak mematuhi aturan, diberikan sanksi yang jelas.
Ya, aturan.
Lalu, sama seperti aturan atau kebijakan, ada beban biaya yang harus ditanggungkan. Untuk menjamin bahwa peraturan dapat diimplementasikan kepada mereka yang berkepentingan, maka ada beban biaya. Kepada siapa beban biaya ini ditanggungkan?
Pada beberapa tempat, sekolah misalkan, untuk memastikan murid-murid dapat berpakaian seragam, sekolah harus memfasilitasi produksi atau pendistribusian pakaian seragam. Jika itu adalah seragam yang bisa diperoleh di pasaran, maka tidak akan banyak upaya yang dikerahkan. Tapi, jika itu adalah seragam yang hanya bisa diproduksi di tempat tertentu, atau hanya oleh sekolah saja, maka sekolah harus mengkoordinasikan produksi, pendistribusian dan bahkan penjualan.
Selain itu, ada juga tempat yang “memfasilitasi” atau membayarkan anggota komunitasnya untuk berpakaian sesuai dengan yang mereka harapkan. Contohnya dapat kita lihat pada saat pemilu dilakukan. Entah itu adalah pemilu lokal, regional atau bahkan nasional. Setiap partai memiliki caranya sendiri, dan gayanya sendiri. Membagikan pakaian seragam kepada pengikutnya adalah salah satu bentuk fasilitas yang disediakan untuk kegiatan.
Topik mengenai cara berpakaian atau pakaian sungguh adalah topik yang luas! Satu tulisan seperti ini saja, rasanya tidak akan cukup untuk membahasnya.
Tapi, apakah tata cara berpakaian adalah hal yang penting pada masa saat ini? Jika itu adalah waktu untuk pertemuan secara daring, hanya pakaian atas saja yang bagus, bawah hum..celana pendek! Bodo amat.
Good luck!
Baca juga tulisan-tulisan saya mengenai pakaian sebagai berikut:
Cara berpakaian?mungkin cara berpakaian sosialita selalu menarik dibahas di IG atau platform sosial media lainnya. Saya sempat bingung buat apa mereka membeli dress dengan harga 10 juta?. Untungnya saya bukan sosialita,cukup bahagia dengan harga baju seratus ribu.
SukaDisukai oleh 1 orang
Inilah yang saya maksudkan sebagai pandangan yang “subjektif” tentang cara berpakaian atau pakaian. Ada mereka yang bahagia dan puas dengan menggunakan pakaian seharga 10 juta, ada juga yang bahagia dengan pakaian seharga hanya 100 ribu saja. Sangat-sangat subjektif.
Tapi, perbedaan ini mengajarkan kita bahwa ada faktor atau unsur “motif” untuk menggunakan pakaian. Dalam dua kasus yang dicontohkan di atas, mereka yang menggunakan pakaian seharga 10 jutaan mungkin menggunakan itu karena itu adalah bagian dari “aktualisasi diri mereka”, sedangkan yang menggunakan pakaian 100 ribuan, tidak menilai demikian.
Mungkin ya, Kak. Mungkin demikian.
SukaSuka
Menarik. Aku sendiri bukan orang yang terlalu mengamati fashion, jadi yang ada di lemari pakaian “standar” saja, macem t-shirt, kemeja, jeans dst. Untungnya di kantor juga dibebaskan memakai apa aja, jadi ga perlu bingung ke kantor tinggal pakai t-shirt dan jeans dan sneaker atau tambah sweater jika musim dingin, ngga perlu pake blazer, rok, atau celana kain dan sepatu hak.
Soal warna, kebanyakan orang disini memakai baju warna gelap (hitam, biru, cokelat tua), jadi akupun akhirnya ikut2an tanpa sadar. Memang kalau baju warna gelap itu juga lebih praktis (Ga gampang keliatan kotor), bisa di mix dan match tanpa masalah.
Soal harga, aku sendiri karena berusaha untuk lebih environmentally conscious, lebih memilih pakaian yang walaupun harganya lebih mahal, tapi jelas asal mulanya dari mana dan bisa dipakai berulang kali tanpa rusak (kualitas yang lebih bagus) daripada beli misalnya H&M yang dicuci dua kali sudah melar.
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima kasih sudah berbagi, Kak.
Inilah hidup ketika berada di lingkungan yang masih “strict” dengan peraturan mengenai pakaian dan apa yang dipakai supaya terlihat presentable.
Sangat berharap dapat bekerja di tempat yang tidak memusingkan soal “apa yang dikenakan” saja. Hiks.
SukaDisukai oleh 1 orang