Saya tidak ingat mengapa saya bisa berada di sini. Tapi, saya ingat betul wanita berbaju putih itu adalah Istri saya. Ia selalu datang mengantarkan makanan dan memberikan saya obat untuk diminum. Ketika saya bertanya padanya mengenai obat apa yang Ia berikan pada saya, Ia hanya menjawab, “Obat ini akan membuatmu sehat kembali”.
Lalu, Ia pergi setelah memastikan bahwa saya sudah meneguk obat yang diberikannya.
Istri saya cantik dan Ia sangat menyukai pakaian berwarna putih. Ketika berjalan, suara kakinya tidak terdengar. Ia seperti seekor burung, yang terbang entah kemana dan hinggap di ranting tanpa memberikan suara. Suaranya juga sangat lembut, membuat saya tenang. Tapi, saya tidak ingat kapan kami menikah. Saya pernah bertanya padanya mengenai pernikahan kami, dan Ia hanya membalas dengan tersenyum. Saya jadi tidak tega untuk bertanya lagi.
Selain istri saya, saya mengenal seorang teman yang secara rutin datang mengunjungi saya. Namanya, Made. Ia orang yang santai dan nyaman untuk diajak bertukar pikiran. Kalau Ia tidak datang berkunjung, saya yang akan datang mengunjunginya. Ia memiliki sebuah kantor yang kecil dan cukup sesak karena banyak sekali perabot tidak penting didalamnya. Ia nampaknya orang yang sangat rajin membaca, koleksi bukunya lumayan banyak dan berjejer rapi di rak buku.
Ketika saya datang mengunjunginya, saya tidak pernah sendiri. Saya selalu bersama Istri saya, yang selalu setia menemani. Saya tidak ingat kapan pertama kali bertemu dengan Made. Saya juga tidak ingat kapan saya mulai akrab dengannya. Tapi, bukankah pertemanan itu berjalan seperti hubungan saya dan Made. Tidak memikirkan masa lalu, jalani saja masa sekarang dan berpikir untuk merencanakan masa depan.
Setiap kali bertemu, Made selalu meminta saya untuk bercerita. Bercerita mengenai aktivitas dan pekerjaan yang saya lakukan setiap hari, bahkan mimpi-mimpi saja. Ia sahabat yang baik, karena setiap kali saya bercerita, Ia pasti akan mendengarkan dengan penuh semangat sambil sesekali menuliskan hal-hal penting di atas kertas. Saya pernah bertanya padanya tentang kebiasaanya itu, Ia menjawab dengan ekspresi persis seperti Istri saya,
“Kamu tahu sendiri, kan…”
Kalau Ia sudah mengatakan hal seperti ini, saya hanya bisa menjawab dengan senyuman dan sedikit bercanda. Saya lupa, tapi saya tidak ingin sahabat saya merasa dikhianati. Jadi, saya akan menjawab “O..Baiklah, lanjutkan”.
Kalau saya melanjutkan pertanyaan dan meminta penjelasannya lebih detail, saya takut Ia akan tersinggung. Meskipun saya tidak pernah melihat Made marah atau kesal dengan saya, tapi saya takut juga membayangkan kalau Ia berubah menjadi pemarah dan kasar. Saya mungkin tidak akan tahan.
…
Setelah kunjungan terakhir saya dari tempat Made, saya merasa sangat lelah dan mengantuk. Mungkin karena jauhnya perjalanan yang harus kami tempuh hari ini dan udara di luar rumah yang sangat panas dan kering. Saya tidak tahu pasti.
Ketika tiba di tempat Made, Saya dan Istri saya harus menunggu cukup lama untuk bisa bertemu dengan sahabat saya itu. Ia memang orang yang sibuk dan saya bisa mengerti. Setelah bertamu dan berbincang-bincang sebentar, saya dan istri saya pamit pulang. Sesampainya di rumah, Saya lalu meminta ijin untuk beristirahat pada Istri saya dan memintanya untuk membangunkan saya pada jam makan malam.
Belum lama rasanya saya tidur, saya bermimpi.
Dalam mimpi saya itu, saya melihat sosok wanita yang rasanya sangat saya kenal. Ia berusia sekitar 25an, menggunakan baju berwarna merah dengan corak bunga matahari. Ia melihat saya dari kejauhan dengan tatapan yang menakutkan. Tapi, Ia juga seperti orang yang sedang ketakutan. Ia membawa bersamanya sebuah kapak pemotong kayu ukuran sedang, dengan gagang kayu berwarna coklat dan mata kapak berwana merah. Saya melihat kapak itu bergitu sangat cocok di genggamannya. Ia berjalan terseok-seok dengan kakinya yang telanjang. Saya bertanya dalam hati,
“Apa yang dilakukan oleh wanita ini di sini? Apa yang dilakukannya dengan kapak pemotong kayu dan tidak menggunakan alas kaki?”. Kontras sekali dengan baju berwarna merah yang Ia kenakan.
Wanita tadi tiba-tiba saja mengejar saya dengan membawa kapak di tangannya. Ia seperti ingin mengejar saya. Saya secara spontan berlari menjauh. Saya takut.
Belum lama saya berlari, saya menengok ke belakang. Wanita tadi sudah tidak ada.
Saya terkejut ketika saya menoleh kembali ke arah depan, wanita tadi sudah berada di hadapan saya, dengan kapak yang terayun mengarah pada saya. Saya berteriak. Kaget.
Lalu, saya terbangun. Keringat membanjiri tubuh saya. Denyut jantung saya melaju sangat cepat. Mimpi tadi seakan nyata. Saya tidak pernah memimpikan hal seperti itu sebelumnya.
Saya lalu duduk di tempat tidur, mengambil segelas air minum dengan menggunakan gelas plastik yang tidak jauh dari tempat saya, dan membiarkan diri saya tenang. Saya lalu mulai mereka ulang mimpi yang baru saja saya alami. Ini pasti pertanda buruk.
…
Hari berikutnya, Made mengunjungi saya. Ia tampak rapi seperti biasanya. Ia juga membawa sebuah map berwarna merah. Tidak seperti biasanya. Tapi, saya juga tidak yakin, apakah Made memang memiliki kebiasaan seperti itu atau tidak. Sudahlah, saya tidak ingin mengambil pusing. Lebih baik bagi saya untuk menceritakan mengenai mimpi saya semalam.
Seperti biasa, Made mendengarkan dengan penuh perhatian cerita mengenai keseharian saya. Tapi, saya merasa Ia merubah sikapnya ketika saya mulai menceritakan mimpi saya. Tidak seperti biasanya Ia seolah-olah memaksa saya untuk menceritakan lebih detail lagi. Apakah Ia juga memiliki pikiran sama seperti saya?. Ini mungkin saja adalah sebuah firasat yang buruk. Sesuatu akan terjadi. Entah apalah itu, saya rasa sebuah kekuatan yang tidak bisa saya jelaskan sedang mengirimkan saya pesan, dan saya harus mencari jawaban.
“Sesuatu yang buruk akan terjadi, Made”, kata saya berniat untuk menutup pembicaraan.
Made nampak cemas, saya tahu bahwa Ia mengerti maksud saya.
“Apakah menurutmu, saya perlu memberitahukan ini pada Caroline?” Tanya saya. Caroline adalah nama istri saya.
“Saya takut sesuatu terjadi padanya” Kata saya melanjutkan.
“Ya, silahkan saja. Selain pada saya, Robert juga baiknya menceritakan hal ini pada Caroline. Ia merawatmu setiap hari” Kata Made. Robert adalah nama saya.
Ya, Made benar. Saya harus menceritakannya pada Caroline. Tapi, saya juga merasa cemas. Bagaimana kalau wanita yang ada di mimpi saya tersebut adalah Caroline ?. Bukankah dalam mimpi itu, wanita berbaju merah bermotif bunga matahati membawa kapak dan datang menghampiri saya dengan nafsu membunuh. Tapi, tidak mungkin. Caroline adalah istri saya, Ia selalu bersikap baik pada saya. Ia tidak mungkin menyakiti saya. Saya pasti akan menceritakan mengenai mimpi saya ini kepadanya dan Ia pasti akan mengerti.
Setelah berbincang cukup lama, Made pamit untuk pulang. Sebelum pulang, saya sempat melihat Ia berbincang-bincang dengan Caroline. Saya bisa melihat sekilas ekspresi cemas dari Caroline. Tapi, ekspresi itu bisa dengan mudah Ia tutupi dengan senyum manis yang menjadi ciri khasnya.
Setelah Made pergi, Caroline menghampiri saya. Ia membawakan saya segelas air minum.
“Haus?” tanyanya.
Saya hanya mengangguk dan mengambil gelas air minum dari tangannya. Selesai meneguk air minum sampai bersih, saya lalu mulai menceritakan mimpi saya padanya. Saya memaksanya untuk menyelidi keluarga atau kerabat kami. Siapa tahu ada yang memiliki ciri-ciri seperti yang saya gambarkan. Saya juga memintanya untuk berhati-hati, karena mungkin saja sesuatu yang buruk bisa terjadi ketika Ia pergi bekerja. Ketika Ia tidak bersama saya. Saya merasa yakin bahwa entah bagaimana mimpi saya akan menjadi kenyataan.
Ia membalas kekhawatiran saya dengan senyumnya yang menawan. Ia lalu memberikan saya obat untuk diminum. Saya menerimanya seperti biasa. Saya perhatikan, obat yang diberikannya sedikit berbeda. Saya bertanya padanya mengenai hal ini,
“Ia, itu supaya Robert bisa beristirahat dengan tenang” begitu jawabnya.
Saya tidak ingin bertanya lebih jauh lagi. Menuruti apa yang Ia perintahkan pada saya adalah bentuk kasih sayang saya padanya. Saya tidak ingin membuat Ia terluka, Ia mungkin adalah satu-satunya yang saya miliki saat ini. Saya tidak memiliki banyak teman dekat. Saya juga tidak ingat dengan keluarga saya yang lainnya, orang tua apalagi. Saya penasaran, tapi rasanya rasa penasaran saya kalah dengan efek obat yang baru saya minum. Belum lima menit rasanya saya meminumnya, dan saya sudah mulai mengantuk.
…
Saya berada di sebuah gang yang cukup sempit. Kiri dan kanan saya adalah dinding kasar dan berlumut. Basah seperti baru saja disiram air hujan. Saya menatap ke arah ujung jalan, ada seberkas cahaya dari arah sana. Hari itu cuaca memang sedikit gelap, awan hitam masih berarak di atas sana. Percikan air hujan juga masih ada. Saya lalu mengambil langkah dan sedikit berlari mengejar cahaya tadi.
Ketika saya mengejarnya, cahaya itu pun semakin jauh dari jangauan saya. Cahaya itu bergerak. Ia seperti lampu belakang sepeda dayung.
Tiba-tiba saya mendengar orang berteriak. Saya terkejut dan menghentikan langkah kaki saya. Suara ini seperti berasal dari belakang punggung saya. Saya menoleh ke belakang.
Saya terkejut, karena tampak belakang saya ternyata adalah sebuah tempat yang cukup luas. Apakah sejauh ini saya berlari? Saya sampai tidak sadar kalau ternyata sudah melewati sebuah lapangan kecil seperti ini.
Sekitar 100 meter dari hadapan saya, saya melihat sosok seorang pria. Ia menggunakan celana pendek dan kaos oblong. Wajahnya samar-samar. Mata saya memang sudah mulai rusak, saya tidak bisa melihat dengan jelas bahkan untuk jarak 100 meter.
Pria ini tidak sendiri, Ia bersama seorang wanita. Saya terkejut. Wanita yang bersamanya adalah wanita yang saya temui dalam mimpi saya semalam. Ia menggunakan pakaian yang sama, baju merah dengan motif bunga matahari. Saya mencari kapak di tangannya. Tidak, kapak tidak berada di tangannya. Saat ini wanita itu sedang membawa sebuah tas wanita yang berukuran sedang, berwarna merah. Warna itu mengingatkan saya akan warna folder yang dibawa oleh Made pada pertamuan kami hari ini.
Lalu tiba-tiba saja, gambaran tadi berubah.
Wanita yang menggunakan gaun corak bunga warna-warni tadi sudah berada di tanah. Ia terkapar dan tidak bergerak. Tepat di kepalanya, sebuah kapak menancap disana. Wajahnya tidak nampak, karena tertutup sebagian rambutnya. Tas warna merah miliknya, tidak berada disana dan pria yang bersamanya tadi sudah tidak ada disana.
Jantung saya seakan berhenti. Saya merasa tahu apa yang terjadi. Ini pembunuhan! Saya tidak salah lagi. Spontan, Saya langsung saja berteriak,
“Tolong…ada pembunuhan, tolong…”.
Tapi, saya seorang diri saja pada saat itu dan lapangan kecil tempat saya berada, sunyi. Saya memberanikan diri untuk mendatangi tubuh wanita tadi. Siapa tahu Ia masih bisa bergerak dan saya bisa menolongnya.
Ketika saya mendekat, wanita tadi ternyata masih hidup meskipun kapak sudah menancap di kepalanya. Ia memegang erat kaki saya, seakan ingin minta tolong dan tidak memperbolehkan saya pergi. Saya melawan sekuat tenaga, melepaskan cengkramannya sambil terus berteriak untuk meminta pertolongan.
Cengkraman wanita tadi melemah dan saya bisa menghindar. Saya harus segera pergi dari tempat ini, pikir saya. Saya mungkin adalah satu-satunya saksi kejadian ini. Saya tidak akan melupakannya, pria yang berada bersamanya tadi. Pria berkaos oblong dan bercelana pendek. Saya akan melaporkannya ke polisi, saya harus segera memberitahukannya pada mereka. Pelaku harus segera di tangkap. Ini kasus pembunuhan.
Saya pun berlari menjauhi tubuh wanita tadi dan melaju kencang tanpa tahu arah. Hujan benar-beanr sudah berhenti, tapi langit maih saya mendung. Saya takut.
Ketika saya berlari, saya merasakan telapak tangan saya basah. Saya mungkin saja berkeringat sebagai efek rasa takut dan terkejut yang baru saja saya alami. Saya memperlambat langkah saya, sambil melihat kearah belakang. Sunyi.
Lalu, saya melihat kearah telapak tangan saya. Basah mungkin tidak menjelaskan apa yang saya lihat di tangan saya saat ini. Saya mencoba mengenali sesuatu yang berada tepat di permukaan telapak tangan saya. Menciumnya.
Ini darah!
Ya Tuhan, apa lagi ini, keluh saya dalam hati. Saya lalu mengumpulkan seluruh kekuatan saya, saya berteriak,
“Tolong…” dan semuanya menjadi gelap.
…
Saya berada di sebuah ruangan yang tidak saya kenali. Dinding ruangan ini berwarna biru muda dan langit-langit ruangan berwarna coklat. Saya mencoba menggerakkan tangan dan kaki saya, tapi rasanya sulit sekali. Saya berusaha sekuat tenaga, tapi tidak bisa. Saya menjadi putus asa.
Pandangan mata saya sedikit kabur, tapi saya coba untuk perlahan-lahan membuka dan menutup kelopok mata dengan harapan pandangan saya menjadi jelas. Lalu, saya mulai mengobservasi keadaan di sekeliling saya.
Kaki dan tangan saya terikat! Keduanya terikat dengan kencang, saya merasa seperti seekor katak yang dijadikan spesimen di laboratorium. Saya mengambil nafas, lalu mulai berteriak mencari pertolongan. Terdengar orang-orang berdatangan. Salah satu diantaranya adalah orang yang saya kenal, Caroline.
Saya meneriaki namanya dan meminta bantuan agar Ia melepaskan ikatan yang ada di tubuh saya. Ia tidak menggubris. Dunia seakan diam dan tidak mempedulikan saya. Saya persis seperti sebuah spesimen di dalam tabung kaca. Tapi, saya tidak akan menyerah. Saya gunakan semua kekuatan saya untuk berteriak. Saya masih memiliki harapan, Caroline akan mendengar saya.
Caroline mengambil sesuatu dari laci meja yang berada tidak jauh dari ranjang tempat tidur saya. Sebuah jarum suntik dengan cairan bening di tabungnya. Caroline mengarahkannya pada lengan saya, sambil meminta saya untuk tenang.
Ketika jarum suntik menusuk lengan saya, saya merasakan sedikit rasa sakit. Rasa sakit ini membuat saya tenang, membuat saya sadar akan tarikan nafas saya. Tapi, rasa sakit ini membawa saya pada kesadaran bahwa saya tidak mengenal siapapun di dalam ruangan ini. Saya tidak mengenal Caroline, saya tidak kenal siapapun. Orang-orang yang ada di sekeliling saya terlihat asing. Mereka menatap saya dengan wajah yang tidak bisa saja jelaskan. Mereka memegang tangan dan kaki saya. Saya merasakan ketakutan. Ya, ketakutan yang sama ketika saya pertama kali melihat wanita yang menggunakan pakaian berwarna merah dan bermotif bunga mahari itu. Ketakutan yang sama ketika saya melihat pembunuhan itu dan melihat darah. Ya, pembunuhan. Saya teringat akan pembunuhan itu. Saya mengeluarkan seluruh kekuatan saya untuk berbicara, mungkin hanya inilah kesempatan saya. Saya memandang pada wanita berbaju putih yang berada di samping saya, Caroline seperti yang saya kenal dari papan namanya, saya menangis. Saya seperti orang yang kehilangan harapan, pupus.
Mengapa semua orang tidak bisa mendengarkan saya?
Mengapa semua orang tidak peduli?
Ada apa dengan saya?
Saya merasakan tepukan-tepukan halus di lengan saya. Tepukan ini membuat saya mengantuk, meredakan rasa geram dalam hati saya. Saya mengenal tepukan tangan ini, ini tepukan tangan istri saya, ini tepukan tangan Caroline, dan dunia mulai menjadi gelap lagi.
…
Tanggal 4 Januari 2018, sebuah mobil ambulans datang diiringi dengan sirine mobil polisi membawa angkutan dan menurunkannya di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit jiwa. Angkutan yang dibawa adalah seorang Pria yang berusia sekitar 35 tahunan. Ia tampak tenang dan tidak melawan ketika dibawa masuk ke dalam ruangan pemeriksaan. Kedua tangan Pria ini diborgol, demikian juga kakinya. Kecuali untuk kaki, borgol sengaja dibuat sedemikian rupa sehingga Pria ini bisa berpindah tempat seorang diri. Ia terus saja menunduk dan menolak untuk melakukan kontak mata dengan orang-orang yang menyapanya. Ia menjawab pertanyaan petugas di ruang pemeriksaan dengan seadanya saja, lalu lanjut mengisi beberapa formulir dengan ditemani oleh satu orang anggota polisi dan satu orang yang kemungkinan adalah keluarganya. Ketika diminta untuk menyebutkan nama lengkapnya, Ia menjawab singkat, “Robert”.
Beberapa saat kemudian, seorang Pria berperawakan sedang dengan setelan pakaian yang rapi masuk ke ruang pemeriksaan. Ia menyapa beberapa orang petugas jaga dan juga orang-orang lainnya di dalam ruangan.
Ia langsung mengambil posisi duduk bersebelahan dengan petugas yang memeriksa Robert. Ia sempat mengobrol sejenak dengan petugas kesehatan yang sebelumnya memeriksa Robert, lalu Ia menoleh pada orang yang ada dihadapannya saat ini. Ia mengajukan beberapa pertanyaan pada Robert, lalu mencoret-coret lembaran yang sudah disedikan di depannya.
“Bapak Robert, Kita menginap disini beberapa hari untuk perawatan, ya” katanya sambil tersenyum. Ia juga mengarahkan pandangannya pada beberapa orang dalam ruangan perawatan. Beberapa orang yang mengerti langsung mengangguk sebagai tanda setuju.
“Terima Kasih, Pak” kata orang yang pada saat ini duduk disebelah Robert, nampaknya adalah keluarga dari Pria yang bernama Robert ini. Ia mengangguk dan kembali berbicara pada petugas kesehatan disampingnya. Ketika Ia berbalik, tampak papan nama yang ada di dadanya, disana tertulis dengan sangat jelas, dr. Made, Sp. KJ.
…
Dua orang petugas berbaju putih membawa seorang pasien baru dengan menggunakan kursi roda. Satu orang mendorong pasien dan satunya lagi membawa map berisi kertas-kertas hasil pemeriksaan pasien. Pasien yang mereka bawa sudah menggunakan seragam khusus rumah sakit tapi tampak tidak berdaya, lemas dengan pandangan kosong. Ia akan dibawa ke ruang perawatan khusus. Ruangan ini disebut khusus karena disediakan untuk merawat mereka dengan masalah yang khusus seperti mereka dengan masalah kejiwaan yang juga terkena kasus hukum. Orang-orang di rumah sakit mengenal tempat ini sebagai ruang khusus perawatan untuk para kriminal. Ruang perawatan ini terletak sangat jauh dari ruang penerimaan pasien baru. Ruangan ini juga dipagari dengan terali besi. Persis seperti rumah tahanan.
Salah satu petugas kesehatan yang mengantarkan pasien tadi memencet bel yang berada tepat disamping pagar pintu masuk, lalu melihat ke arah atas. Ada kamera CCTV dibagian atasnya. Keduanya lalu melambaikan tangan dan berkata, “Pasien baru…”.
Tidak lama, pintu pagar terbuka.
Ada dua pintu yang harus dilewati sebelum masuk ke dalam ruangan perawatan ini. Setelah masuk pintu pertama, pertugas kesehatan tadi harus mengikuti prosedur pemeriksaan. Seorang petugas jaga dengan perut yang lumayan besar berdiri disana dan mulai melontarkan pertanyaan-pertanyaan dan satu petugas jaga lagi memeriksa bawaan kedua petugas kesehatan ini dan juga pasien yang mereka bawa. Setelah pemeriksaan selesai, mereka diperbolehkan untuk masuk ke pintu kedua. Salah satu petugas memberi kode, lalu Pintu kedua lalu terbuka.
Ketika pintu kedua terbuka, nampak seorang wanita berbaju putih berdiri tegak tidak jauh dari pintu, Ia jelas nampak seperti petugas kesehatan yang bertugas di ruangan ini. Ia seorang perawat. Wanita tadi menyambut pasien dan petugas yang datang bersamanya. Ia tersenyum dan mengucapkan salam. Beberapa orang perawat pria selanjutnya datang dari arah belakang dan membantu petugas kesehatan untuk memindahkan pasien ke ruangan yang sudah disediakan. Selesai dipindahkan dan memastikan bahwa pasien aman dan nyaman, seluruh petugas meninggalkan ruangan dan menuju kantor perawat.
Perawat wanita tadi menanyakan keadaan pasien, dengan cepat salah satu petugas kesehatan yang membawa tadi menjawab,
“Bapak Robert, 35 tahun. Tersangka kasus pembunuhan. Ia membunuh Istrinya sendiri dengan menggunakan kapak pemotong kayu. Istrinya padahal baru saja pulang dari acara penikahan temannya. Lokasi pembunuhan tidak jauh dari rumahnya sendiri. Motif pembunuhan katanya adalah cemburu, Ia melihat ada seorang Pria bercelana pendek dan berbaju oblong yang menggoda istrinya. Tapi, teryata ada siapapun yang bersama istrinya saat itu. Korban yang merupakan Istrinya pulang seorang diri dengan berjalan kaki, menggunakan pakaian berwarna merah dengan motif bunga matahari dan menggunakan tas kecil berwarna senada. Saat itu Ia bahkan tidak mampir kesana-kemari, malah berniat untuk cepat pulang karena mengkhawatirkan suaminya. Ya, Pasien ini memiliki halusinasi audio-visual yang berat. Ia juga memiliki waham curiga. Dokter Made sih menuliskan Schizophrenia pada lembar diagnosis. Katanya nanti akan dilakukan pemeriksaan lanjutan “.
“Terima kasih, Ners Andy. Kami akan tindak lanjuti dari sini” Kata perawat wanita tadi sambil tersenyum.
“Okay, kalau begitu kami permisi dulu. Hari ini lumayan sibuk, belum jam 10 pagi kita sudah mengantar lebih dari tiga orang pasien baru. Luar biasa!” Kata Perawat yang bernama Andy tadi.
“Saya mengerti” kata perawat wanita tadi menjawab dengan lembut dan ramah.
Setelah kedua petugas kesehatan tadi menghilang dari pandangan. Perawat wanita tadi berkata pada beberapa orang perawat yang ada dihadapannya sambil tersenyum.
“Okay, kita lanjut bekerja lagi”
Setelah mengatakannya, Ia membetulkan papan namanya. Tertulis disana, Ners Caroline.
…
Selesai.
Beberapa istilah yang perlu diketahui,
- Ners = Gelar profesi untuk seorang Perawat yang telah menyelesaikan pendidikan profesi keperawatannya.
- Halusinasi audio-visual= Halusinasi diartikan sebagai pengalaman indra tanpa adanya perangsang pada alat indra yang bersangkutan, sedangkan audio-visual menunjukkan jenis dari halusinasi ini. Audio artinya suara dan Visual artinya penglihatan atau gambar. Orang yang menunjukkan tanda halusinasi audio-visual adalah orang yang mampu melihat gambar/bayangan dan mendengarkan suara yang pada kenyataannya tidak pernah ada.
- Waham= keyakinan atau pikiran yang salah karena bertentangan dengan dunia nyata serta dibangun atas unsur yang tidak berdasarkan logika; sangka; curiga.
- Sp. KJ = Spesialis Kedokteran Jiwa.
…
Tulisan ini diselesaikan untuk memenuhi tantangan menulis dari #katahatiproduction. Tantangan menulis ini kali ini adalah tantangan menulis ke-kedelapan dengan tugas menginterpretasikan gambar kedalam sebuah cerita pendek.
Terima kasih kepada pemberi tantangan, Mas Archotransep dan Tim Produksi Kata Hati.
Satu pemikiran pada “Wanita Berpakaian Merah Bermotif Bunga Matahari”