“Ketika lelah, beristirahatlah”


“Kemarin, setelah menahan beberapa hari, saya akhirnya menyerah. Saya merasakan kelelahan yang luar biasa, dan keadaan emosional saya sangatlah buruk. Saya merasa ingin mencari sesuatu untuk dihancurkan dan menyesalinya kemudian. Saya ingin melukai orang lain, karena saya merasakan rasa sakit yang luar biasa tapi tak nampak. Saya benar-benar seperti orang yang sangat luar biasa vulnerable, tapi juga messed up pada saat yang bersamaan. I am exhausted! Totally exhausted!”.

Seorang sahabat saya datang dan menceritakan saya mengenai apa yang Ia rasakan beberapa waktu yang lalu. Saya sangat terkejut dengan apa yang Ia tumpahkan ketika Ia berhadapan dengan saya waktu itu. Masih lengket rasanya di kepala saya, betapa rapuhnya Ia pada saat itu. Ia menahan diri untuk tidak menangis, Ia memang sosok yang kuat.

Berbeda dengan image-nya yang tegar, kuat dan mandiri, hari itu, saya melihat sosok yang sangat berbeda. Ia jauh dari image-nya yang setiap hari saya dan sahabat-sahabat saya yang lain lihat, Ia totally different! Ia rapuh, serapuh-rapuhnya pada saat itu, dan itu membuat saya menjatuhkan rasa kasihan padanya. Pada akhirnya, saya hanya bisa memberi komentar,

“Kita adalah manusia”.

Ya, kita adalah manusia yang rapuh, yang penuh dengan banyak persoalan, masalah dan banyak lagi. Kita menjadi manusia yang kaya karena reaksi emosional, yang banyak kita berikan pada dunia sebagai respon dari interaksi kita dengan dunia. Itulah kita, manusia.

Sambil mendengarkan cerita dan menerima tumpahan perasaan sahabat saya, saya pun melakukan refleksi mengenai keadaan mental-emosional kita sebagai individu, sebagai manusia. beberapa poin yang berhasil saya refleksikan, saya tuangkan dan bagikan dalam postingan ini.

Lelah, adalah hal yang manusiawi.

Mereka yang senang dan gemar untuk bekerja dan membanting tulang, akan membuat label haram pada rasa lelah yang mereka rasakan. Mereka selalu berpikir bahwa adalah haram untuk merasakan kelelahan. Tidak boleh merasa lelah. Lelah adalah dosa.

Tapi, apakah kepercayaan seperti ini benar adanya ?.

Sungguh, ini tidak benar!.

Rasa lelah adalah sesuatu yang sangat manusiawi. Makhluk hidup, memiliki batasan dalam bekerja, sampai tingkatan sel-pun, hukum ini bekerja. Ketika sel bekerja, Ia menghidupi sel itu sendiri dan melahirkan kehidupan. Proses kerja sel ini sungguh sangat ajaib, ada banyak kerja yang dilakukan oleh unit-unit kecil dalam sel, dan unit-unit ini berkonstribusi terhadap system yang sangat kompleks dalam diri seorang individu.

Silahkan untuk mengunjugi “Overview of metabolism” dari Khan Academy untuk mengetahui lebih lanjut, dan lebih jauh mengenai proses metabolism sebuah sel.

Ketika sel bekerja, Ia memproduksi energi. Energi ini digunakan untuk menghidupi sel dan untuk membuat sistem-sistem kompleks dalam tubuh manusia bekerja. Ia juga bertanggung jawab sampai pada titik individu bersemangat dan tidak bersemangat dalam bekerja atau mengerjakan sesuatu.

Ketika sel kekurangan energi untuk dapat melanjutkan kerja, sel akan mengirimkan respon yang selanjutnya diterjemahkan sebagai respon “lelah” atau kelelahan. Ini adalah bagian dari proses yang sangat alami. Kesimpulannya, ketika seseorang bekerja, dan Ia merasakan respon kelelahan, maka adalah wajar jika Ia pun melahirkan respon lelah dan kelelahan. Itu adalah respon yang sungguh dan sangat wajar.

Lelah dapat berarti adalah respon marah yang terselubung.

Marah, adalah sebuah reaksi emosional yang sangat menarik untuk dipelajari. Reaksi yang diberikan oleh individu atau makhluk hidup dalam rupa respon marah adalah sesuatu yang sangat unik untuk direnungkan.

Marah, pada dasarnya adalah respon ketika kita diperhadapkan pada keadaan atau situasi dan kondisi yang sangat tidak nyaman, tidak adil, dan bersifat merugikan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa seorang individu bereaksi secara berbeda-beda dalam terhadap masalah dan menghasilkan rasa marah (Ini bukan lagi hipotesis, ini kenyataan). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi rasa marah adalah 1) trigger event (Masalah, situasi atau kondisi yang dapat berkonstribusi menyebabkan rasa marah), 2) karakter individu (Personality), dapat juga termasuk daya tahannya terhadap stress/masalah, pengalaman masa lalunya dan lain sebagainya, 3) Kemampuan kita untuk memberikan penilaian terhadap situasi atau kondisi. Nah, ketiga hal ini sangat mempengaruhi kita untuk mengekspresikan rasa marah.

Untuk membaca lebih lanjut mengenai respon marah, silahkan untuk berkunjung pada tulisan milik Ryan Martin, Ph.D yang berjudul “Why We Get Mad: Why some people get angry more often than others”.

Kegiatan mengekspresikan rasa marah sangatlah menarik untuk dipelajari. Manusia mengekspresikan rasa marah hanya pada tiga pola ini, 1) dalam dirinya, 2) luar dirinya, 3) keduanya, dalam dirinya dan diluar dirinya. Rasa marah yang dilampiaskan “Dalam diri” dapat merusak dalam diri. Ingat, marah adalah energi. Energi yang terakumulasi dalam diri dan bisa merusak dari dalam, akan merusak dan menghancurkan (dari dalam) dan keadaan ini sangatlah berbahaya.

Ketika individu secara terus menerus melampiaskan rasa marahnya kepada dan dalam dirinya, Ia akan merasakan kelelahan. Kelelahan adalah efek dari energi yang terus menerus bertubrukan antara satu sama lainnya. Kelelahan adalah respon fisik atas proses yang sangat rumit ini. Jadi, ketika rasa lelah melanda, coba lihat lagi, apakah ini adalah efek dari rasa marah yang tersalurkan dengan sangat tidak tepat atau bisa jadi adalah hasil dari memendam rasa yang sangat-sangat dalam dan lama.

Lelah dapat berarti adalah respon minta tolong dari dalam diri (yang terpendam dan tidak terkatakan).

January Nelson dalam tulisannya yang berjudul,  7 Things I forget to do When My Mental Health Declines. Memaparkan bahwa rasa lelah bisa jadi adalah repon minta tolong yang diteriakkan oleh jiwa kita ketika kita sudah sangat tidak sanggup menahan beban perasaan atau beban masalah yang tertumpu pada diri.

Cara pertama dan utama ketika berhadapan dengan masalah seperti ini adalah menyadari apa yang sedang terjadi. Saya menyarankan agar masing-masing dari kita memberikan sedikit waktu agar kita dapat memahami dan mendengarkan seruan dari dalam diri kita masing-masing. Seruan-seruan ini biasanya lemah, untuk alasan itulah kita harus sedikit lebih peka dan menyendengkan telinga kita untuk bisa mendengarkan lebih dalam lagi.

Ketika lelah melanda, tiada obat yang paling sempurna selain, “Istirahat”.

Ini adalah formula yang paling sederhan dan yang paling ampuh. Sama seperti ini, ketika lapar, makan. Sedih, menangis. Ini adalah bagian dari respon otomatis yang sangat alami. Tidak ada yang salah dengan hal seperti ini. Alami saja.

Sama seperti, “Ketika lelah, beristirahatlah”.

Demikianlah teman-teman, tulisan reflektif saya kali ini. Ketika lelah melanda, jangan pikir terlalu rumit, istirahat!. As simple as that. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan inspirasi untuk kita sekalian. Selamat menjalani hari dengan penuh semangat! Salam.

13 pemikiran pada ““Ketika lelah, beristirahatlah”

  1. Obat lelah adl istirahat. Saya memaknai istirahat bkn hny scr harfiah dan fisik sprti tidur, misalnya. Istirahat disini bs jg brti istirahat dari kesibukan, istirahat dari rutinitas, istirahat dari keramaian dan istirahat dari sgla hal yg tdk penting utk dipikirkan.

    Disukai oleh 1 orang

  2. Betul, Luna. Saya sangat setuju!

    Lelah, hanya bisa diobati dengan memberi waktu pada diri untuk beristirahat. Itu saja.

    Benar, lelah itu, tidak mesti lelah fisik. Lelah secara mental dan emosional juga sering terjadi, banyak kali malah. Jadi, sebagai tanda sayang kita kepada diri sendiri, berikanlah Ia waktu untuk mengistirahatkan diri.

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar