Perspektif lain dari “Mengelola Rasa Marah”


Rasa marah, kemarahan, sangat identik dengan perwujudan energi yang berwarna merah, merusak dan banyak dihindari oleh orang-orang. Seorang Perawat, terutama perawat kesehatan jiwa yang bekerja di bangsal perawatan kesehatan jiwa tidak akan dapat menghindari kasus yang ada hubungannya dengan rasa marah, kemarahan atau amuk (kemarahan yang berlebihan yang diwujudkan dalam bentuk aksi seperti berteriak, bahkan memukul benda-benda di sekitar).

Mereka yang memiliki pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan mengenai rasa marah akan sangat kesulitan untuk dapat berhadapan dengan rasa marah dari luar dirinya atau dari orang lain. Hal yang sama terjadi pada saya sendiri. Saya memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan dengan rasa marah atau kemarahanan yang mula-mula saya lihat dari kedua orang tua saya, tetangga dan ketika saya sudah bekerja.

Sampai saat ini, ketika saya mengingat pengalaman itu (dimarahi), rasanya badan saya masih meninggalkan chills yang tidak nyaman. Masih tersisa sampai sekarang residu yang tidak nyaman sebagai respon dari rasa marah, atau respon karena terkena marah meskipun pengalaman dimarahi itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu. Saya menuliskan posting-an kali ini karena didorong oleh pengalaman pribadi ini. Saya mengadakan penyelidikan dan juga sekaligus memproses untuk dapat berhadapan dengan rasa marah dari orang lain dan terlebih rasa marah yang berasal dari dalam diri sendiri.

Tulisan ini adalah pure pendapat saya pribadi dan beranjak dari pengalaman saya pribadi. Tujuan menulis tulisan ini pun hanya untuk tujuan sharing, untuk menemukan intervensi yang terbaik yang bersifat sangat subjektif. Semoga ini menjadi jelas bagi semua pembaca.

Baca juga: Ketika Saya Marah

Rasa marah itu…

Rasa marah, atau kemarahan adalah salah satu bentuk emosi yang sering disalahartikan dan ditangani dengan kurang tepat pula. Padahal, dibalik rasa marah, ada energi besar yang dapat ditransformasi menjadi energi baik untuk membangun dan menghasilkan sesuatu yang baik.

Rasa marah adalah respon yang sangat primitive, sama primitifnya dengan usia manusia itu sendiri. Respon marah bahkan bisa dikatakan sebagai respon yang ditujukan untuk dapat melindungi diri sendiri, sebuah respon yang positif dan baik. Pada masa-masa awal perkembangan manusia, manusia harus dapat melindungi dirinya sendiri dari berbagai macam ancaman yang datang dari hewan, dari alam dan bahkan dari manusia itu sendiri. Manusia lalu secara otomatis dan mungkin saja sengaja, membangun tembok yang selanjutnya kita kenal sebagai “respon marah”. Respon ini sekali lagi memiliki tujuan ini, “melindungi diri” si empunya emosi.

Mencari sumber rasa marah

Ketika marah terjadi, sudah sewajarnyalah kita mencari alasan dan penyebab mengapa marah dapat terjadi. Hal ini biasanya kita lakukan sebagai bagian dari bentuk sikap untuk memahami dan selanjutnya mencegah agar kejadian marah ini tidak terjadi lagi di masa depan.

Banyak sekali sumber rasa marah kalau kita ingin menggalinya lebih dalam. Salah satunya adalah berasal dari dalam diri sendiri. Banyak teori yang menunjukkan bahwa sumber rasa marah itu bermacam-macam, tapi saya memilih untuk berfokus pada sumber marah yang berasal dari dalam diri sendiri. Sumber rasa marah yang berasal dari diri sendiri ini sejalan dengan tulisan ini.

Baca juga: The feeling of anger: from brain networks to linguistic expressions, untuk melihat alasan atau penyebab rasa marah dari sudut pandang bio-kimia otak.

Banyak sekali alasan mengapa seseorang merasa marah, beberapa diantaranya adalah karena masalah yang terjadi secara fisik (misalkan karena keterbatasan fisik. Keterbatasan fisik karena sakit dapat menyebabkan masalah yang tidak nyaman, hal ini dapat menyulut rasa marah pada diri seseorang), terganggunya komunikasi antara dirimu dengan diri orang lain, kebutuhan yang tidak terpenuhi/tercapai, kesalahpahaman yang terjadi dengan orang dan masih banyak lagi.

Memahami apa yang menjadi sumber dari rasa marah adalah salah satu cara untuk dapat berhadapan dengan rasa marah tersebut. Menghadapi rasa marah yang langsung bersumber dari penyebabnya akan mengurangi kerusakan yang terjadi dimana-mana, yang diakibatkan dari penanganan rasa marah yang tidak tepat. Penanganan rasa marah pun sangat berhubungan dengan perspektif apa yang digunakan untuk menangani rasa marah ini.

Sebagai contoh, misalkan, Si A mengeluarkan rasa marah yang tidak terkendali karena Ia tidak menyukai adiknya. Setelah digali, Ia tidak menyukai adiknya karena Ibunya yang terlalu bersikap memanjakan adiknya sedangkan bersikap berbeda dengan si A. Penanganan marah atau manajeman rasa marah yang menggunakan cara komprehensif akan memfokuskan intervensi rasa marah pada Si A, Ibunya dan juga adiknya, bukan hanya pada Si A saja. Sedangkan, penanganan rasa marah yang bersifat personal (Satu pribadi saja, dan personal pada orang yang merasakan rasa marah) akan menangani rasa marah difokuskan untuk menggali mengapa dan kenapa Si A dapat menyimpan rasa tidak suka yang mendalam bahkan melahirkan rasa marah dalam dirinya, dengan menargetkan adiknya. Hanya si A saja.

Tulisan ini menggali penanganan rasa marah yang berfokus pada diri sendiri (personal) dengan memegang kepercayaan bahwa rasa marah terjadi dan bersumber dari dalam diri sendiri. Untuk itu, penanganan rasa marah akan difokuskan pada hanya diri sendiri.

 Berdamai dengan rasa marah

Ya, saya tidak salah ketika mengatakan bahwa pada saat ini, saya menulis tentang “berdamai” dengan rasa marah. Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, rasa marah adalah sesuatu yang sebenarnya baik, jika ditempatkan pada situasi, kondisi yang baik pula.

Saat ini, saya memiliki tiga cara atau tiga tingkatan untuk dapat menangani, mengendalikan dan pada akhirnya berdamai dengan rasa marah dalam diri. Berdamai dengan rasa marah dimulai dari diri sendiri, pribadi sendiri dan bukan dari orang lain. Saya akan menjelaskannya satu persatu demikian.

Langkah pertama.

Segera memberikan perhatian pada rasa marah, ketika Ia datang dan mulai menguasai tubuh. Ketika rasa marah tiba, alam bawah sadar yang akan mengambil kendali. Kita akan segera berespon dan merespon dengan dan tanpa kendali. Kita bahkan akan sulit untuk mengingat apa yang kita lakukan ketika marah, apalagi ketika alam bahwa sadar kita yang mengambil alih. Buruknya lagi, kita mungkin akan lupa kalau pada saat itu, kita mungkin sudah memukul atau berlaku kasar terhadap benda-benda di sekeliling kita atau yang lebih buruknya, dengan orang lain.

Menarik perhatian kita yang berada di alam bawah sadar, ke keadaan sadar adalah hal pertama yang harus dilakukan. Pada praktiknya, yang bisa kita lakukan adalah menyadari rasa sesak dalam dada, rasa penat dan rasa terbakar dalam pikiran, dan cepat-cepat melakukan langkah mindfulness dengan memusatkan pikiran pada tarikan dan hembusan nafas. Tujuan dari Tindakan ini adalah untuk mencegah agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya dan terutama agar rasa marah dapat disalurkan dengan baik pada tempat yang baik.

Saya ingat, salah satu intervensi yang dulu sangat sering dianjurkan (bahkan sampai sekarang masih dipertahankan) dalam pemberian asuhan keperawatan jiwa yang dilakukan oleh perawat pada pasien dengan masalah resiko kekerasan atau resiko mencederai diri/orang lain akibat rasa marah adalah dengan menganjurkan pasien melakukan pukul bantal. Yeap, saya tidak salah, pukul bantal!. Sejak dahulu, saya berusaha memahami mengapa pukul bantal? Mengapa intervensi ini perlu dan patut dilakukan?. Pencarian saya tertuju pada alasan ini,

“Emosi marah, atau energi yang keluar dari rasa marah adalah energi besar yang harus dan segera dikeluarkan dari dalam tubuh manusia. Jika tidak dikeluarkan, maka akan menyebabkan kerusakan yang sangat sulit diperbaiki dari dalam diri/tubuh manusia”.

Saya rasa, inilah alasan mengapa intervensi pukul bantal masih tetap dilaksanakan sampai pada saat ini. Tapi, suatu ketika saya sendiri yang mengalami rasa marah yang tidak tertahan, dan saya pun melaksanakan intervensi ini. Hasilnya, saya bukannya menjadi tenang, api yang ada didalam dada saya rasanya membakar dan terus membakar. Tindakan memukul bantal itu seperti menyiram bensin ke tungku api dalam diri saya sendiri. Selain memukul bantal, saya bahkan rasanya ingin memukul hal lain, dan rasa marah di dalam dada saya hampir tidak dapat dikendalikan. Pada saat itu saya menjadi sadar bahwa, saya harus memvalidasi kembali intervensi “memukul bantal” ini. Intervensi ini entah mengapa menjadi sangat berbahaya.

Kembali, saya ingin mengatakan bahwa ketika rasa marah melanda, segera bergerak menuju mindfulness. Jangan tunda, dan segera fokuskan rasa marah, rasa sesak di dada pada keadaan tenang dan terkontrol. Berikan kesempatan kepada diri sendiri untuk mengendalikan diri, mengendalikan emosi di dalam diri dan jangan berhenti pada satu titik saja.

Coba untuk menarik nafas secara teratur dan fokuskan pada setiap hembusan dan tarikan nafas. Hitung pelan-pelan dalam hati samapi sepuluh (10) dan biarkan rasa panas di dada berganti dengan rasa hangat lalu beralih pada keadaan seperti biasanya. Ulang terus sampai tercapai keadaan tenang.

Langkah kedua.

Langkah selanjutnya ini baiknya dijalankan setelah langkah pertama selesai di jalankan. Pada tahap ini, diri sendiri adalah focus, dan kegiatan reflektif adalah kegiatan yang akan terus menerus diulang. Langkah kedua ini sangat penting untuk melihat lebih dalam pola terbentuknya rasa marah, dan belajar untuk ke depan melakukan prevention untuk hal-hal yang tidak perlu. Langkah kedua ini terdiri dari beberapa langkah penting yang patut untuk diperhatikan.

Dengarkan. Ya, dengarkan apa yang ingin disampaikan oleh rasa marah yang tercipta dari dalam diri kita. Intervensi ini keluar dari hipotesis yang menyatakan bahwa emosi yang muncul dari dalam diri kita adalah salah satu cara tubuh kita berkomunikasi dengan diri kita sendiri. Rasa marah bisa menjadi sinyal bahwa pada saat ini kita sedang terluka, dan kita ingin orang lain tahu luka yang kita rasakan. Sesuatu yang bisa kita lakukan pada saat rasa marah mengalir di dalam diri kita adalah, mendengarkan. Ya, mendengarkan emosi marah ini dan membiarkannya menyampaikan apa yang ingin Ia sampaikan.

Memahami. Setelah mendengarkan, maka langkah selanjutnya adalah memahami. Memahami ini bukan hal yang mudah, karena memahami artinya adalah aksi yang lahir dari kemampuan untuk mendengar dengan aktif. Jika tidak lulus dengan langkah pertama (mendengarkan) sangat sulit untuk dapat memahami apa isi pesan yang disampaikan dari/oleh rasa marah.

Baik mendengarkan dan memahami adalah dua langkah yang sangat penting, dan akan membuahkan hasil yang sangat baik jika dilakukan bersamaan (kolaborasi). Kedua intervensi ini memampukan si empunya rasa marah untuk melihat alasan dibalik rasa marah yang Ia rasakan.

Forgive (memaafkan). Setelah proses mendengarkan dan memahami, yang lahir selanjutnya adalah fakta yang menjelaskan alasan “mengapa”. Alasan yang merupakan fakta ini dapat saja memberatkan dan memperburuk rasa marah, tapi jangan berfokus pada rasa marah itu saja, tapi coba untuk berfokus pada hal lainnya. Hal yang dimaksud di sini adalah memaafkan. Kekuatan dari kemampuan untuk memaafkan ini sangat efektif untuk memadamkan rasa marah dan mengubahnya menjadi sesuatu yang baik, sesuatu yang berbeda dan sesuatu yang lebih baik.

Memang, rasanya sangat tidak mungkin meminta diri sendiri yang sedang dalam keadaan marah untuk memaafkan apa yang menjadi penyebab rasa marah. Rasanya berat, tapi usaha untuk memaafkan ini sangat bisa dipelajari dan sangat mungkin untuk dibentuk dari dalam diri Individu. Salah satu hal yang saya temukan adalah bahwa untuk mewujudkan rasa memaafkan ini, kita perlu menyadari bahwa apapun yang ada di dunia ini terhubung antara satu orang dengan orang yang lainnya. Jika kita ingin menyalahkan satu orang atau beberapa orang saja atas apa yang terjadi pada kita,maka kita pun perlu melihat lebih jauh pada diri orang yang kita salahkan. Apakah benar kesalahan terletak pada diri mereka?

Memaafkan akan memutuskan rantai rasa benci, dan membuat kita sendiri menjadi lebih nyaman dan hidup dengan lebih baik. Memang tidak mudah, tapi jika kita ingin berusaha, meskipun harus bersusah payah untuk melewati pintu yang sempit ini, kita akan merasakan keuntungannya yang berlipat ganda.

Komunikasikan rasa marah dengan compassion (Perasaan kasih). Ketika rasa marah melanda, ketika kita merasa bahwa orang ini atau orang itu adalah penyebab kita menjadi marah. Tiada salahnya untuk mengkomunikasikan rasa marah ini dengan orang yang kita kira adalah penyebab rasa marah ini. Tujuan dari tindakan ini bukan agar orang lain juga merasakan menderitanya kita, tapi untuk tujuan lain yang lebih baik. Hal ini sangat penting agar orang lain pun mengerti bahwa kita adalah manusia biasa yang tidak luput dari hal-hal seperti ini.

Ask for help (Mintalah pertolongan). Jika rasa marah yang melanda sudah tidak tertahankan, dan ketika semua hal sudah kita lakukan dan tidak mampan juga. Maka langkah terakhir adalah dengan meminta pertolongan. Jangan sungkan!. Meminta pertolongan adalah hal yang sangat dasar yang bisa dilakukan oleh manusia atau seorang individu ketika Ia merasa tidak mampu melakukan sesuatu. Meminta tolong adalah tindakan yang sangat baik dan sangat wajar dilakukan.

Memang, sangat berat bagi mereka yang terlalu terbiasa mandiri untuk menurunkan ego mereka dan meminta pertolongan. Tapi, mari lihat kembali. Tiada yang salah dari meminta pertolongan dari orang lain. Mungkin, kita bisa tidak menemukan apa yang kita inginkan, seperti solusi yang jitu untuk masalah kita, tapi bukan itu saja tujuan dari meminta tolong. Solusi akan datang kapan saja kita menginginkannya, yang perlu kita lihat adalah bagaimana kita memandang suatu masalah dan meletakkan beban berat masalah tersebut. Apa yang menjadi focus kita.

Kadang, dengan meminta pertolongan dan mengajak orang lain untuk melihat masalah kita bersama-sama, kita dapat menemukan sendiri solusi dari masalah kita dengan melihat perspektif berbeda dari masalah tersebut. Benar, mengajak orang lain untuk bercakap dengan kita adalah dengan tujuan ini, menemukan perspektif berbeda. Lalu, solusi itu akan datang dengan sendirinya.

Semoga sampai di sini, saya tidak membuat banyak orang merasa kebingungan.  

Sebagai catatan, ada beberapa keadaan yang disebut sebagai “Anger Disorder”. Keadaan ini adalah keadaan yang secara bio-kimia bermasalah, dalam artian terjadi sedikit kelainan secara biologis-kimiawi dalam otak. Penanganan psikologis biasa tidak mampu mengatasi rasa marah yang diakibatkan oleh masalah ini. Meminta pertolongan dari dokter, terutama dengan menggunakan bantuan obat akan sangat banyak membantu.

Langkah ketiga.

Langkah selanjutnya adalah kesimpulan dari langkah pertama dan kedua. Seperti yang saya katakan, “menemukan pola” dari rasa marah dan selanjutnya melakukan pencegahan yang perlu. Misalkan, kita bisa marah ketika ada orang yang mengganggu barang-barang pribadi kita. Kita mungkin mulai melihat alasan mengapa, dan apa yang bisa kita lakukan dari sini. Bagi saya sendiri, saya akan menganjurkan agar orang yang memiliki masalah marah ketika orang-orang mengganggu barang-barang pribadinya untuk belajar mengenai melepaskan. Melepaskan apa yang menjadi miliknya. Tentu saja solusi yang saya tawarkan ini bukan sebuah jalan yang cepat, tapi sebuah perjalanan panjang yang perlu banyak kerja keras dan usaha.

Setelah semuanya ini dijalani, tibalah kita pada penghujung tulisan ini. Setelah langkah pertama, kedua dan ketiga selesai, saya menganjurkan apa yang banyak dianjurkan oleh orang-orang setelah berhasil menjinakkan rasa marah dalam dirinya, yaitu pergi dan bantulah orang-orang yang mengalami masalah yang sama. Tuliskan dan ceritakan mengenai rasa marah yang kamu rasakan, dan bagaimana kamu dapat berdamai dengan rasa marah ini. Bagikan benih kebaikan ini pada banyak orang. Buat dunia ini menjadi tempat yang layak untuk ditinggali bukan hanya untuk dirimu sendiri, tapi juga untuk orang lain.

So, demikian teman-teman tulisan saya untuk minggu ini. Saya benar-benar merenungkan mengenai “rasa marah” selama saya menuliskan tulisan ini. Saya pun tidak dapat menyelesaikan tulisan ini hanya dalam satu kali duduk, saya mengerjakannya selama berhari-hari sambil merenungkan setiap kata yang ada di sini. Saya mempraktikkan apa yang saya tulis di sini, itu yang sangat ingin saya sampaikan, dan sampai pada titik ini, saya merasa apa yang saya tulis di sini cukup membantu.

Bagaimana dengan teman-teman sekalian? Apakah teman-teman sekalian memiliki pengalaman dengan rasa marah yang dialami oleh teman-teman sekalian? Bagaimana teman-teman dapat mengenali rasa marah ini dan bagaimana teman-teman dapat berhadapan dengan rasa marah ini?

Silakan tuliskan pengalaman teman-teman di kolom komentar, dan mari kita saling melengkapi satu dengan yang lain. Siapa tahu, kita dapat membantu sesame kita untuk menemukan jalan damai kita masing-masing.

Salam hangat dari saya.

Bahan rujukan:                                                                        

Bagi teman-teman yang ingin lebih jauh memahami mengenai rasa marah dan bagaimana dapat berdamai dengan rasa marah di dalam diri, saya anjurkan untuk mampir dan membaca beberapa sumber rujukan berikut:

  1. Thich Nhat Hanh (2002). Anger (Wisdom for cooling the Flames). Riverhead Books: New York.
  2. Anger Series Writing dari Psychologytoday.com. Dalam link ini, kita akan menemukan definisi tentang marah/rasa marah, bagaimana rasa marah dapat muncul dan bagaimana dapat menemukan alternative cara untuk dapat berhadapan dengan rasa marah ini.
  3. “Why I am so angry?” Tulisan dari healthline.com
Sebagai bonus, ini adalah sedikit proses kreatif dalam menulis tulisan kali ini.

21 pemikiran pada “Perspektif lain dari “Mengelola Rasa Marah”

  1. Jujur, aku sampai saat ini belum bs mengelola rasa marah dengan baik. Tapi paling tidak sudah tidak separah dulu lagi. Aku malu utk menceritakan seberapa parahnya, hehe. Tapi juga alhamdulillah tidak sampai merusak atau berbuat hal2 yg fatal.

    Menurutku marah itu ada yg diperbolehkan tapi ada juga marah yg harua dikendalikan.

    Memarahi anak atau istri itu perlu selama tujuannya untuk meluruskan yang salah. Yg tidak boleh adalah marah yang dilandasi alasan ego pribadi. Marah seperti ini biasanya yg mengerikan dan bisa merusak fisik maupun kejiwaan.

    Beberapa kali aku sempat marah yg dilandasi ego. Dan itu baru diaadari ketika selesai. Ada penyesalan setelahnya dan berniat tak akan mengulangi lagi. Tp ternyata di lain waktu terjadi lagi, menyesal lagi. Berat memang menguasai marah itu. Tp sekarang sdh mulai jarang.

    Biasanya aku melarikan diri atau merenungi kemarahanku ini dengan mendengar nasehat2 spiritual. Ternyata itu cukup ampuh utk mengatasi dan memahaminya, paling tidak bisa mengurangi frekwensi marah.

    Aku kadang iri dengan orang2 yang terlihat tidak pernah marah. Atau kalau pun marah tidak dinampakkan dengan verbal, melainkan cukup diam saja tp bs dirasakan kemarahannya. Kakekku termasuk type orang yang belum pernah kulihat marah yg bener2 marah yg dinampakkan seumur hidupnya. Ingin menirunya tp kadang susah. Apa mungkin ada faktor karakter ya?

    Tp bagaimanapun aku sdh bersyukur, semakin menua rasa amarah itu semakin jarang dan makin bs aku kuasai walaupun gk bisa benar2 hilang.

    Terima kasih, mbak Ayu. Sdh berbàgi dan menulis secara mendalam tentang pengendalian rasa marah. Sebagai seseorang yg berkecimpung di dunia medis, tulisan2 mbak Ayu dengan bahasan yg relevan terasa gregetnya.

    Nice article.

    Disukai oleh 1 orang

  2. Bagus artikel ini Mba Ayu, Banyak macam cara manusia dalam menangani emosi yang tiba-tiba meluap, kalo saya sebaiknya memilih diam biar waktu yang bekerja. Ada saling berkaitan dengan artikel yang dibuat oleh morning glory dengan judul Tak Terucap. Nice Post!

    Disukai oleh 1 orang

  3. Postingan ini ‘mahal’ loh Kak Ayu. Pastinya dapat membantu pembacanya untuk menanggulangi amarah. Terima kasih banyak karena telah menuliskannya.

    Disukai oleh 1 orang

  4. Postingan ini sungguh mengena bagi pembaca. Setelah membacanya saya merasa lega karena menemukan cara untuk menstabilkan amarah untuk beberapa masalah saya. Memang langkah tersebut terlihat mudah namun sulit bagi seseorang menerapkannya di kehidupan. Tapi agak tak berkepanjangan memang ada baiknya penting bagi kita untuk mendengar, memahami, dan memaafkan yang pertama untuk diri sendiri dan orang lain.
    Terima kasih mba Ayu. Informasi ini sungguh bermanfaat.

    Disukai oleh 1 orang

  5. Hi, Mas. Terima kasih karena sudah sudi mampir dan meninggalkan sharing pengalaman yang luar biasa! Ayu belajar banyak hal dari sharing Mas ini.

    Saya setuju, Mas. Memilih jalan spiritual, mendekatkan diri dengan Tuhan adalah teknik ampuh untuk mengontrol rasa marah, menenangkan bathin. Dalam salah satu intevensi keperawatan jiwa untuk menangani pasien dengan masalah manajemen marah yang tidak terkontrol, intervensi spiritual adalah intervensi yang diberikan paling akhir (semacam peluru pemusnah yang paling ampuh). Banyak orang yang menceritakan bahwa teknik ini benar-benar membantu.

    Saya sendiri merasa takut dengan orang yang tidak pernah menunjukkan kemarahannya. Orang-orang seperti ini, ketika marah akan lebih parah dibandingkan dengan orang-orang yang sering marah. Salah satu alasannya adalah karena mereka tidak terbiasa untuk ‘marah’ pada orang lain (atau pada diri sendiri).

    Bersyukur, ini luar biasa sekali Mas. Nikmat yang hakiki adalah bersyukur.

    Semoga kita dapat menemukan jalan terbaik untuk mengontrol rasa marah dalam diri, dan mengalirkan serta menggunakan energi ini dengan sebaik-baiknya.

    Terima kasih, Mas. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi mereka yang membutuhkan.

    Disukai oleh 1 orang

  6. Hi, Mas Gerry. Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan komentar.

    Saya rasa, cara kita menghadapi rasa marah berbeda-beda antara satu orang dengan orang yang lainnya. Sifatnya subjektif begitu. Saya berharap, cara yang digunakan oleh Mas Gerry sekarang bekerja dengan baik. Saya pun berpesan, jika di kemudian hari, Mas Gerry menemukan teknik yang lebih baik dan lebih melahirkan kebaikan, jangan sungkan untuk belajar dan beradaptasi dengan cara baru.

    Saya doakan semoga kita sekalian menemukan cara terbaik untuk menggunakan dengan bijak rasa marah yang ada di dalam hati kita.

    Morning glory? Tak Terucap? wah, ini baru pertama kali saya mendengarnya. Kalau ada link tulisannya, mohon saya dibagikan Mas. Biar ikut membaca juga.

    Terima kasih sudah sharing ya, Mas.

    Disukai oleh 1 orang

  7. Hi, Mas Rakha. Wah, saya jadi tersanjung ini ketika tulisan ini disebut sebagai tulisan yang “mahal”.

    Analogi “mahal” dari Mas Rakha saya pinjam ya. Bagi saya, kata mahal di sini bisa digunakan untuk menggambarkan proses yang saya jalani sendiri untuk belajar terus menerus mengontrol rasa marah, dan berdamai dengan rasa marah saya sendiri. Mahal karena saya perlu banyak waktu, banyak kesabaran, banyak kesadaran dan banyak pengorbanan.

    Terima kasih juga untuk Mas Rakha yang sudah bersedia mampir dan membacanya. Semoga tulisan ini meninggalkan kesan bagi pembacanya.

    Disukai oleh 1 orang

  8. Hi, Mbak Desy.

    Terima kasih sudah mampir dan sharing pengalamannya.

    Masing-masing kita memiliki pengalaman yang unik terkait dengan rasa marah ini. Seperti yang tertulis di sini, banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya rasa marah, dan juga bagaimana kita mengontrol rasa marah.

    Benar, solusi yang ditulis di sini nampak mudah sekali. Semudah mengucap atau menuliskannya, tapi pada praktiknya kita harus benar-benar kerja keras!

    Saya berdoa, semoga Mbak Desy menemukan apa yang Mbak Desy cari. Semoga solusi untuk mendengar, memahami dan memaafkan dapat membantu.

    Terima kasih juga sudah membaca dan mengambil sari dari tulisan ini. Semoga tulisan ini memberi manfaat bagi yang membacanya.

    Disukai oleh 1 orang

  9. Tepat sekali Kak.

    Dari gaya menulisnya dan sudut pandang yang digunakan, saya yakin bahwa Kak Ayu sudah membayar ‘mahal’ sampai bisa bertutur hal yang seperti ini.

    Kami sebagai pembaca yang sebenarnya, harus berterimakasih kepada sang penulis, yaitu Kak Ayu.

    🙏🙏🙏

    Disukai oleh 1 orang

  10. terima kasih telah berbagai tentang amarah, bagaimana mengelola amarah, meski orang-orang menyebutku tak pernah marah, hal yang tak kalah beratnya adalah bagaimana mengelola amarah orang lain yang tumpah ke kita tanpa harus diterima dengan kemarahan yang sama. Kadang hal demikian cukup menyesakkan dada

    Disukai oleh 1 orang

  11. Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan pesan, Pak.
    Wah, luar biasa Pak. Saya jarang melihat orang disekeliling saya yang tidak bisa marah.

    Betul Pak, sebenarnya keputusan pun ada di tangan saya atau mereka yang menerima kemarahan dari orang lain. Apakah kami mau mengambil efek dari rasa marah tersebut atau membiarkannya begitu saja ?
    Kadang, ada saja pribadi yang sangat sensitif dan merasa bahwa rasa marah orang lain yang ditujukan padanya adalah juga bagian dari tanggung jawabnya. Nah, ini yang susah.

    Suka

  12. Ciri khas tulisan Kak Maria: (1) meski seringan apapun topiknya, Kak Maria tidak lupa membaca literatur dan membagikannya di blog; (2) tulisannya apik, dan ternyata punya kebiasaan bikin mind-mapping. Nice, Kak 🙂

    Ketika saya marah, obat saya cuma dua, Kak. Pertama, saya harus segera menyingkir. Telinga saya tipis, saya tidak bisa tahan mendengarkan argumen, rasanya ingin saya sambut terus. Jadi saya harus pergi. Kedua, dalam pergi itu, saya harus menarik napas panjang-panjang untuk mengusir segumpal sesak di dada.

    Disukai oleh 1 orang

  13. Yang sering terjadi adalah, orang (termasuk saya) sering gagal memahami sumber rasa marahnya. Bukan hanya gagal menemukan, untuk membuat diri berusaha mencari pun gagal…

    Tapi, marah (dalam kadar tertentu) itu sering kalah dengan rasa takut. Buktinya, entah berapa kali saya ingin marah sama bos, tapi gak jadi…
    Mungkin bukan takut sih ya? tapi kita tahu resiko… 😀

    Disukai oleh 1 orang

  14. Terima kasih sudah mampir dan memberikan komentar, Pak.

    Wah, benar juga ini, kadang rasa marah kalah dengan rasa takut. Benar sekali ini, Pak!

    Suka

  15. Hi, Bang Ical. Terima kasih sudah sempat mampir dan meninggalkan komentar. Terima kasih sudah begitu detil mengobservasi kebiasaan menulis saya hahahaha. Rasanya jadi gimana bgitu.

    Wah, terima kasih sudah berbagi, Bang Ical. Saya rasa, telinga saya juga tipis, Bang Ical. Tapi, nampanya seiring berjalannaya waktu, diminta untuk jadi tebal dan menjadi tebal karena keloid akibat luka hahaha. Semoga paham maksudnya.

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar