Obsesi


Siapa sih yang tidak pernah mengalami pengalaman terobsesi dengan atau kepada sesuatu?

Mudahnya saja, ketika kamu sedang jatuh cinta, pola pikiran yang akan sangat umum hadir adalah masalah obsesif. Kamu akan terus menerus, dan tak henti-hentinya berusaha untuk selalu dekat (dan merasa dekat) dengan sosok yang menjadi subjek tak terelakkan dalam hatimu.

Pada kasus seperti ini, sulit sekali untuk mencari dan menemukan “pihak manakah yang bertanggung jawab” atau “pihak manakah yang bersalah” ?

Obsesi atau obsession (dalam bahasa Inggris) dapat diartikan sebagai, “the state of being obsessed with someone or something..; an idea or thought that continually preoccupies or intrudes on a person’s mind.

Obsesi, memiliki berbagai bentuk dan jenis, seperti sikap perfeksionis (Perfectionism), relational, contamination, causing harm, dan intrusive thoughts. Obsesi punkebanyakan tidak berdiri sendiri, tapi didukung dan disokong dan hadir bersamaan oleh kondisi lainnya seperti masalah kecemasan, depresi, eating disorders.

Belum tentu orang yang memiliki pikiran obsesif, adalah mereka mereka yang terdiagnosis dengan obsessive compulsive disorder (OCD). Pikiran obsesif dan mendapatkan vonis diagnosis OCD sungguh adalah hal yang sangat (dan sungguh) berbeda.

Mengapa seseorang dapat mengalami obsesi?

Pada suatu kesempatan, saya sungguh memikirkan mengapa seseorang atau bahkan beberapa orang dapat mengalami masalah obsesi.

Bagaimana pikiran seseorang dapat membentuk pikiran obsesif?

Sampai saat ini, para ahli masih terus memperdebatkan origin dari pikiran dan perilaku obsesif. Ada banyak yang mengatakan bahwa pikiran obsesif itu sudah ada dan tertanam dalam DNA manusia, dalam artian bahwa sejak zaman nenek moyang dulu, gen yang membuat seseorang mengalami pikiran obsesif atau menjadi obsesif sudah ada. Ada juga yang mengatakan karena ada ketidakseimbangan kimiawi otak, bahkan ada pun yang mengatakan bahwa obsesi lahir karena pengaruh lingkungan.

Memiliki pikiran obsesif atau menjadi seorang yang obsesif adalah hal yang kebanyakan dilakukan “tanpa sadar.” Pikiran itu lahir sendiri, dan kebanyakan sulit untuk dikendalikan atau dikontrol.

Orang yang memiliki atau mengalami masalah obsesif kebanyakan tidak sadar kalau pikiran dan sikapnya menunjukkan tanda dan gejala obsesif (dan sudah menganggu orang lain). Parahnya lagi adalah ketika orang-orang ini “menyangkal” dan menolak mengakui bahwa mereka sudah mengalami masalah terobsesi dengan orang lain.

Tanda-tanda yang parah adalah, ketika seseorang sudah sangat tergantung dan bergantung dengan objek/subjek yang menjadi pusat rasa obsesinya. Pada beberapa orang, perlu waktu bertahun-tahun untuk dapat mencapai tahap menyadari, dan kemudian melepaskan rasa obsesi ini.

Obsesi juga adalah mengenai rasa nyaman. Orang yang terobsesi dengan sesuatu adalah orang yang merasa nyaman dengan pilihan hidupnya ini. Ia mengambil keuntungan dari tindakan obsesif-nya ini, dan kadang tanpa sadar Ia sudah sangat mengganggu orang lain atau bahkan memberikan rasa tidak nyaman pada objek/subjek yang menjadi alasan Ia menjadi (sangat) terobsesi.

Orang-orang menjadi sulit untuk move on dari rasa obsesi juga adalah karena masalah kebiasaan.

Sudah terbiasa menarik keuntungan dari keadaan terobsesi ini, dan sudah biasa hidup seperti ini.

Keadaan ini melahirkan tantangan bagi mereka yang ingin keluar dari lingkaran setan obsesi.

Level selanjutnya, yang menurut saya paling berbahaya adalah ketika pikiran dan bahkan perilaku obsesif itu menjadi sebuah kebutuhan. Seperti istilahnya, tidak dapat menjadi tidak obsesif karena pikiran dan perilaku obsesif akan sangat membantu sesorang menjadi hidup atau tetap hidup. Golongan mereka yang ekstrimis ini, luar biasa! Langka dan kadang cukup mengkhawatirkan!

Dampak Buruknya “terobsesi”

Obsesi akan melahirkan delusi. Sebuah keadaan yang sangat mengkhawatirkan.

Ketika seseorang terobsesi, hampir semua waktu yang ia miliki dikhususkan hanya untuk objek atau subjek yang menjadi sasarannya. Kemudian, ia akan sangat menikmati keadaan ini, lalu menciptakan fantasi demi fantasi yang lahir dengan tokoh utama objek/subjek ini. Dapat dikatakan bahwa seluruh detik yang dilaluinya dalam hidup berputar dan hanya terkonsentrasi pada subjek/objek ini. Semuanya.

Lambat laun, delusi pun terbentuk. Memorinya menjadi kacau, dan Ia pun mengalami kesulitan untuk membedakan kenyataan dan apa yang menjadi fantasinya. Belum lagi ditambah dengan ttitik demi titik kepercayaan yang Ia tanamkan pada fantasi yang sudah Ia bangun.

Sulit sekali menyadarkan individu dari khayalan atau fantasinya. Ia akan menolak begitu banyak fakta dan kenyataan yang diberikan oleh orang lain disekitarnya, dan hanya akan menerima informasi yang akan mendukung fantasinya. Hari-hari akan dilewati dengan hal-hal seperti ini.

Ironis!

Bagaimana agar tidak menjadi “terobsesi” ?

Berada dalam keadaan terobsesi dapat berarti dua hal, yaitu sangat menyebalkan dan sangat dinikmati.

Pada beberapa orang yang memiliki masalah dengan kecemasannya, masalah obsesi adalah masalah yang menyebalkan dan sungguh tidak membuat nyaman. Tetapi, bagi mereka yang memilih untuk menikmatinya, hummm..tak ada yang salah dengan pikiran dan menjadi obsesif.

Terdapat banyak hal yang dapat dilakukan untuk menghentikan pikiran obsesif dan berperilaku obsesif, yaitu seperti exposure therapy, mindfulnes-based cognitive theraphy, peer supprot and supprort groups, medication, self-help strategies, identify the thoughts, counter the thought, sit with the thought, journaling, dan engage in calming activities.

Secara garis besar, Cognitive-Behaviour Therapy atau yang dikenal sebagai CBT, adalah hal yang akan dan dapat dilakukan untuk menurunkan kadar pikiran dan perilaku obsesif. Selain dari terapi lingkungan dan juga terapi sosial.

Prinsip dari penanganan atau terapi ini adalah mengalihkan pikiran yang obsesif dan menggantikan objek/subjek yang menjadi alasan seseorang terobsesi.

Tidak mudah! Sungguh sangat tidak mudah dan bahkan sangat tidak nyaman untuk menjalani terapi pelepasan dari menjadi obsesi ini. Niat, tekad dan kedisiplinan sungguh sangat perlu. Ingat, ada perubahan kebiasaan yang harus dilakukan untuk dapat move on dari rasa obsesif.

Menurut hemat saya, (sesuai dengan pengalaman), menjadi obsesif, lahir atau terjadi karena ketidakmampuan seseorang untuk melepaskan sesuatu yang sudah digenggamnya. Ketidakmampuan untuk melepaskan, secara singkatnya demikian.

Jika bercermin pada pengalaman sendiri atau dalam artian melakukan kilas balik, pikiran dan pengalaman obsesif yang hadir dalam diri, terjadi karena “kebodohan” dan “ketololan.” Hal lainnya adalah karena “kurang kerjaan” atau bahkan tidak ada kerjaan.

Namun, pikiran dan perilaku obsesif pada suatu waktu dapat menjadi berkat dan juga dorongan yang baik untuk dapat menyelesaikan sesuatu.

Ketika pikiran obsesif datang, kita kadang hanya dapat berdoa semoga kesadaran datang segera. Ya, kesadaran bahwa pikiran dan perilaku obsesif itu mungkin sudah cukup merugikan dan harus dihentikan.

Ketika kesadaran ini belum datang atau belum tiba, mampus! Tak akan ada perubahan, dan tak ada istilah “move on.”

Bagaimana menurutmu?

Iklan

2 pemikiran pada “Obsesi

  1. terima kasih sudah menuliskan ini, kak. tulisanmu selalu menyenangkan untuk dibaca.

    aku pikir masing-masing dari kita sudah dari sananya akan terobsesi pada sesuatu; karena barangkali dengan obsesi, hidup akan terasa lebih berarti. kalau menurutmu bagaimana dengan orang-orang seperti itu kak?

    Disukai oleh 1 orang

  2. Hi, Mbak.

    Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak.

    Yeap, setelah menulis tulisan ini, saya menyadari hal yang serupa; bahwa masing-masing dari kita nampaknya harus terobsesi akan sesuatu.

    Obsesi tidak dapat dipandang hanya dari satu sisi saja, yaitu sisi negatifnya saja. Tapi juga adalah sisi positifnya.

    Obsesi itu seperti sebentuk energi yang mampu menggerakkan dan mengubah. Obsesi memiliki energi yang serupa seperti konsistensi dalam mengerjakan sesuatu atau bertindak terhadap sesuatu.

    Pendapat saya, obsesi mungkin kurang cocok digunakan sebagai sebuah alasan, terutama alasan untuk hidup. Rasanya bagaimana begitu. Hidup ini nampak jauh lebih bernilai bernilai dibandingkan hanya terobsesi pada sesuatu/seseorang saja.

    Namun, hidup ini pun dapat dikatakan sebagai kumpulan dari obsesi demi obsesi terhadap sesuatu dan seseorang haaa.

    Jika jauh menyelam, terutama berkaca dari pengalaman saya sendiri, bukan obsesi yang menjadi masalah di sini. Tetapi adalah bagaimana saya memaknai hubungan yang saya jalin dengan sesuatu atau seseorang, dan juga termasuk didalamnya kebutuhan untuk memiliki/menguasai/mengontrol sesuatu/seseorang.

    Pendapat masing-masing orang mungkin berbeda. Demikian pendapat saya Mbak. Semangat!

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s